Perjalanan ke Penang

Akhirnya, jalan juga ke Penang (baca: Pineng)...

Perjalanan yang mulai direncanakan sejak akhir tahun 2013 dan mulai dieksekusi pada awal April 2014... Hmmm, tepatnya pengen ke Bangkok dan Vietnam. Tapi karena satu dan lain hal, ditunda dulu.

Menumpangi Air Asia pada Minggu, 22 Juni 2014, perjalanan dimulai. Berangkat sekitar pukul 16.45 WIB dan tiba pukul 20.10 waktu Penang (sama dengan WITA di Indonesia). Ketika akan mendarat, masih nampak sisa-sisa sunset di langit Penang. Jam 8 malam di Penang, mirip jam setengah 7 malam di Ambon euuyy...

Keluar dari bandara, saya menyeberangi jalan dan menunggu Rapid Penang di halte yang ada. Saya sempat mengobrol dengan orang India yang kebetulan sama-sama sedang menunggu. Menumpang rapid Penang nomor 401 tujuan Jetty, saya membayar 3 ringgit. Tarif sesungguhnya adalah 2,7 ringgit namun jika tidak membayar dengan uang pas, kita tidak akan diberikan kembalian. Maklum, uangnya langsung dimasukkan ke kotak di dekat pak sopir. Saya turun di Komtar dan dengan bertanya di sana-sini, sampailah saya di halte Central Area Transit (CAT) Service yang memberikan tumpangan dengan percuma alias free! Thanks to Penang Government.. :D

Sambil menunggu kedatangan free bus tersebut, saya ngobrol dengan seorang kakek yang englishnya mantap-mantap mencemaskan. But you know, beliau searah dengan tujuan saya dan bersedia menunjukkan lokasi tempat saya menginap. Thank God! And thank you, Sir... ;)

Kami kemudian turun di shelter Mahkamah di Jalan Masjid Kapitan Keling. Beliau menemani saya melewati Steward Street menuju penginapan saya, Ryokan di Lebuh Muntri, kawasan warisan budaya dunia - Georgetown. Jalanan sepi tapi syukurlah saya ditemani sampai di ujung Lebuh Muntri (in english: Mantri Strit). Saya check-in sekitar pukul 11 malam dengan perut kosong. Makan terakhir saya adalah nasi goreng (amat berminyak)+ayam goreng di Bandara Soetta.

Pada saat check-in, saya harus membayar semacam pajak penginapan sebesar 1 ringgit dan deposit Ryokan sebesar 30 ringgit yang kemudian dikembalikan pada saat saya check-out keesokan harinya. Setelah menyimpan tas di kamar dan say hello sekedarnya dengan teman sekamar dari Taiwan (O God, her english is not better than me), saya lalu berjalan di sekitar Ryokan untuk mencari makan malam. Makan malam tak ketemu, malahan saya disapa dan diajak ngobrol oleh seorang sopir taxi keturunan India. Bahkan saya diajak menemaninya minum di depan sebuah Hindu temple yang remang-remang.

Kabur dari orang India itu, saya memutuskan untuk kembali ke Ryokan dan mencoba menghilangkan lapar dengan segelas air hangat sambil wifi-an. Wifi-nya lancaaar jayaaaa sodarah-sodarah..

Bangun di pagi hari, hari kedua saya di Penang, dimulai dengan sarapan roti+sosis+telur mata sapi. Dengan membawa botol air yang diisi di Ryokan saya berjalan kaki dan memulai petualangan saya. Berikut ini foto-fotonya.


Gereja Anglikan tertua di Asia Tenggara
Kantor Mahkamah Penang
Makan malam di sekitar Jalan Kimberly: Fried Rice+Teh Tarik. Rame banget sejak sore....

Fort Cornwallis


Dengan background, Mr. Cornwallis
Syal sangat menolong di tengah cuaca yang panaaassss

Padang Kota Lama di tepi pantai


Dengan background Queen Victoria Memorial Clock Tower

Menanjak, menuju Bukit Bendera - Penang Hill

Kota Penang di kejauhan

Is it true? Hhmmm....


Sebuah temple di kejauhan
Sebenarnya, sampai di daerah temple ini, kekuatan udah sangat menipis. Entah karena perjalanan Bandung-Jakarta, kemudian Jakarta-Penang, kaki saya yang masih sakit akibat kecelakaan tunggal dengan sepeda motor 2 minggu sebelumnya, makin terasa sakit. Padahal biasanya wisatawan menaiki banyak anak tangga untuk sampai ke temple tersebut untuk menikmati pemandangan yang lebih memuaskan mata dan hati (apaan coba). Saya lalu memutuskan untuk kembali ke penginapan (belakangan saya baru tahu dari cerita-cerita dengan Vely dari Sunshine Bedz - KL, kalo ada eskalatornya untuk ke atas. Naseebb). Oh ya, pada hari kedua ini saya pindah dari Ryokan ke Kimberley House di Jalan Kimberly. Acara pindah itupun memakan energi yang tidak sedikit. Dengan memanggul backpack alias ransel seberat kurang lebih 9 kg, saya menyusuri Jalan Kimberly dari arah Jalan Penang. Alhasil hampir 3/4 Jalan Kimberly saya susuri. Ternyata lebih deket dari Jalan Carnavon.

Ketika sedang berada di Padang Kota Lama, saya mendapat panggilan alam. Itu membuat saya harus ke toilet dan membayar 20 sen (saja) sodarah-sodarah. Kalo di-kurs-kan, hanya sekitar 700 rupiah. Muraaah yaa... Itu membuat saya jadi punya uang recehan yang sangat berguna di kemudian jam. Panggilan alam itu juga yang membuat saya tak berani menyantap makanan khas Penang seperti Nasi Kandar. Jauh-jauh ke Penang, makan (siangnya) bubur ayam. Again, naseeebbbb....

Setibanya di Kimberly House, yang punya dispenser air dingin euuyy, saya melepas lelah di female dorm-nya. Oh iya, pajak penginapan di Kimberly House sebesar 50 sen dan depositnya sebesar 10 ringgit, akan tetapi locker-nya tidak sebesar punya Ryokan. Sambil baring-baring dan mengisi ulang peralatan elektronik, saya membaca lagi peta Penang dan menemukan bahwa ada tempat-tempat menarik yang belum terkunjungi oleh saya. Dengan berat hati namun penasaran, saya lalu melangkahkan kaki ke Jalan Armenia dan sekitarnya. Oh iya, tentang mengisi ulang peralatan elektronik, dari Indonesia, saya membawa colokan kaki 3 dan colokan kombinasi agar bisa mengisi daya beberapa alat sekaligus. Berikut ini foto-foto babak ke-2 di hari ke-2.





Gedung Bea Cukai (menara putih) di kejauhan

Malaysia Custom (Bea Cukai)



Kayak di Eropa yaaa (kayak pernah ke Eropa ajaah!) :D
Town Hall

Alkisah, ada adegan film Anna and The King yang diambil di lokasi bangunan putih ini


Dewan Sri Penang di balik pepohonan (pinang?)


Setelah makan, saya lalu mandi dan siap-siap untuk berangkat ke Kuala Lumpur. Sebenarnya setelah mandi masih ingin cuci mata dan makan lagi di tenda-tenda kaget di Jalan Kimberly tersebut. Cuman takut telat dan ketinggalan kereta, saya pun menuju Pangkalan Weld untuk menyeberang dengan menggunakan ferry ke Seberang Perai, bagian dari Penang yang ada di daratan besar Malaysia.

Saya punya pengalaman tidak menyenangkan dengan penyeberangan ferry tersebut. Saya tidak tahu, dan salahnya tidak mengecek juga, bahwa jam digital di pelabuhan lebih cepat 1 jam. Ketika jam menunjukkan pukul 21.30 dan kami belum juga dipersila(kan) menaiki ferry, saya udah mulai ketar-ketir dan terus berdoa di dalam hati (You make me keep pray, God). Setibanya di seberang, saya segera lari menuju stasiun kereta api. Secara saya udah beli online tiketnya dari jauh-jauh hari dan rasanya rugi banget kalo ga kepake. Sempat salah jalan, saya pun sprint (bisa menyaingi rekor Mardi Lestari mungkin). Tiba di stasiun dan tak nampak satupun kereta membuat saya makin deg-degan (kudu minum es degan kali ya, biar lengkap). Di belakang saya ada beberapa orang yang ternyata juga akan menaiki keretapi Senandung Langkawi menuju KL. Saya tanyakan (ngos-ngosan mode on), apakah kita ketinggalan kereta? Mereka jawab belum dan lalu meng-info-kan kalo saat itu baru menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat, sedangkan kereta akan berangkat pukul 22.28. Hhrrrrrrggggghhhhh, kenapa juga jam di pelabuhan Penang kecepetan. Akhirnya sakit sekali kaki saya.... Oh yaaa, itu rombongan di belakang saya itu sebagiannya orang Indonesia.

Di ruang tunggu Stasiun Butterworth, saya sempat mengobrol dengan ibu-ibu Malaysia keturunan India. Ketika tahu saya dari Indonesia, beliau mengatakan Indun. Oalaaa, ternyata orang Malaysia menyebut orang Indonesia dengan sebutan Indun. Spontan saya mengatakan, "Whaat, Ma'am?". Indun? Hhmmmm... For me, it sounds is not good. Ibu itu menanyakan kenapa saya tidak ke Langkawi. Dengan bangga dan penuh rasa nasionalisme saya menjawab, di Indonesia, terutama di Maluku, kami punya pantai-pantai yang sangat indah. Jadi rasanya saya tak perlu ke sana. Merdeka!

Perjalanan di Penang berakhir ketika saya menaiki kereta ke KL. Saya memilih coach yang ada tempat tidurnya (sleeper train), yang adalah pengalaman pertama saya (ga ada di Indonesia).

Overall, Penang is a nice city. The people welcoming us nicely too.
Good bye Penang. See u again... ;)


Queen Victoria Memorial Clock Tower

Mesjid Kapitan Keling




Pemandangan di dalam ferry penyeberangan ke Seberang Perai


Stasiun Butterworth, Penang (Seberang Perai)


Perincian biaya :

Hari 1

Tiket Air Asia Jakarta-Penang Rp869.000,-
Airport Tax Rp150.000,-
Nasi goreng+Ayam Goreng di Terminal 3 Rp45.000,-
Naik Rapid Penang dari bandara 3RM
Pajak penginapan Ryokan 1 RM

Hari 2
Tiket masuk Fort Cornwallis 2RM
Toilet 0,2RM
Pajak penginapan Kimberly House 0,5RM
Bubur ayam 4RM
Buah pepaya 1RM
Rapid Penang ke Penang Hill 2RM
Tiket masuk Penang Hill 30RM
Rapid Penang dari Penang Hill ke Komtar 2RM
Fried Rice 5RM
Es Teh Tarik 1,5RM
Rapid Penang ke Weld Quay (Penyeberangan Ferry) 1,4RM
Tiket KTMB (Keretapi Tanah Melayu Berhad) 40RM
Snack cemilan di kereta 6,8RM

Totalnya jumlah sendiri aja yaaaah.... Hghghg. Gimana menurut pemirsa? Mahal apa murah? Kalo dihitung juga tiket Ambon - Jakarta, bakal mahal banget. Maka bersyukurlah teman-teman yang berdomisili di kota besar dengan banyak penerbangan murahnya (apa coba!).
Saya banyak naik free bus dan untuk air minum pake botol air jadi bisa meminimalisir biaya (produksi). Hehehe....

Komentar