Mengendalikan Inflasi dengan Modifikasi Sistem Penjualan



Kita ketahui bersama, salah satu data strategis yang dihasilkan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah inflasi. Inflasi merupakan informasi tentang perkembangan harga barang dan jasa secara umum di suatu wilayah. Ada 368 komoditi yang dipantau harganya di Kota Ambon dan 263 komoditi di Kota Tual lewat Survei Harga Konsumen yang dilakukan secara mingguan, dua-mingguan, dan bulanan. Perkembangan harga di kedua kota tersebut, bersama 80 kota lainnya di Indonesia kemudian membentuk inflasi nasional yang datanya rutin dirilis sebagai salah satu monthly official statistics pada setiap hari kerja pertama bulan berikutnya.
Bagi kami yang bertanggung jawab terhadap data inflasi, akhir bulan merupakan waktu dimana data harga barang dan jasa yang telah dikumpulkan selama sebulan berjalan dikompilasi dan dievaluasi untuk menghasilkan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perkembangan IHK inilah yang kemudian disebut inflasi jika IHK bulan berjalan lebih tinggi dibandingkan IHK bulan sebelumnya dan disebut deflasi jika IHK bulan berjalan lebih rendah dibandingkan IHK bulan sebelumnya. Di setiap akhir bulan itulah kami selalu merasakan kegelisahan yang sama setiap kali mencermati data harga barang dan jasa di Kota Ambon dan Kota Tual. Kegelisahan tersebut berangkat dari fluktuatifnya harga komoditi ikan segar dan sayuran.
Perkembangan harga ikan segar di Kota Ambon bulan Mei 2016 adalah pada level 67-106 persen dan perkembangan harga sayuran adalah pada level 81-125 persen terhadap harga bulan April 2016. Itu artinya ada ikan segar yang lebih murah 67 persen tetapi ada juga yang lebih mahal 6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pada kelompok sayuran, ada jenis sayur yang harganya lebih murah 81 persen tetapi ada juga yang lebih mahal 25 persen dibandingkan harga pada bulan April 2016.
Di Kota Tual malah lebih fluktuatif lagi perkembangannya. Pada Mei 2016 perkembangan harga ikan segar adalah pada level 53-150 persen dan perkembangan harga sayuran adalah pada level 65-236 persen dibandingkan harga bulan April 2016. Itu artinya di bulan Mei 2016 ada ikan segar yang hanya setengah harga bulan sebelumnya tapi ada juga yang harganya meningkat hampir separuh harga bulan sebelumnya. Pada kelompok sayuran, ada jenis sayur yang harganya hampir setengah dari harga di bulan April 2016 tapi ada juga yang lebih dari 2 kali lipat harga bulan April 2016.
Apakah memang sedemikian fluktuatifnya harga ikan segar dan sayuran di Kota Ambon dan terlebih khusus di Kota Tual? Secara umum dapat saya jawab, ya. Fluktuasi harga kelompok komoditi ikan segar dan sayuran di Maluku dipicu oleh banyak faktor, seperti pola konsumsi masyarakat; belum optimalnya penanganan pasca produksi; dan sistem penjualan yang belum terstandardisasi. Di sini saya akan lebih fokus mengenai pengaruh sistem penjualan terhadap fluktuasi harga.
Penjualan ikan segar dan sayuran di seluruh wilayah Maluku secara umum masih menggunakan sistem tumpuk (tampa) dan ikat. Bagaimana hal tersebut memicu fluktuasi harga, berikut penjelasannya. Saya berikan contoh untuk komoditi ikan segar. Harga ikan segar tertentu di hari kemarin sama dengan harga di hari ini, yakni 10.000 per tumpuk. Akan tetapi ikan seharga 10.000 di hari kemarin berjumlah 8 ekor dan di hari ini hanya berjumlah 6 ekor. Jika rata-rata berat 1 ekor ikan 100 gram, maka setumpuk ikan pada hari pertama memiliki berat 0,8 kg dan pada hari kedua 0,6 kg. Data harga ikan tersebut yang akan kami catat adalah hasil membagi harga per tumpuk dengan beratnya dalam kilogram. Pada hari pertama akan tercatat harga 12.500,00/kg yang diperoleh dari 10.000/0,8 dan pada hari kedua akan tercatat harga 16.666,67 yang diperoleh dari 10.000/0,6. Dari dua titik waktu pengamatan tersebut telah terjadi kenaikan harga sebesar 4.166,67 atau 33,33 persen. Ini dengan asumsi kondisi normal dan tidak ada shock berarti.
Contoh di atas baru dari satu pedagang. Di pedagang lainnya mungkin akan berbeda ceritanya. Bisa saja dia mematok harga 10.000 untuk 7 ekor ikan. Pedagang berikutnya mungkin 8 ekor ikan tetapi dengan ukuran yang berbeda dengan 8 ekor ikan pada pedagang sebelumnya. Itu tentang ikan segar. Kisah yang kurang lebih sama juga dialami pada komoditi sayuran. Ada aneka besaran ikatan sayur antar pedagang yang jika kita konversikan ke kilogram akan memberikan variasi yang besar.
Inilah salah satu peluang bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi terkait upaya pengendalian inflasi, khususnya pada kelompok komoditi ikan segar dan sayuran. Intervensi ini perlu dimulai dari level produsen dan pedagang besar. Petani dan nelayan perlu diberikan sosialisasi untuk mulai menjual produknya ke pedagang pengumpul dan atau pedagang eceran dalam satuan berat (kilogram/kuintal). Dan bukan hanya sosialisasi, mereka mungkin juga perlu difasilitasi dengan timbangan. Hal tersebut tentu akan menular ke rantai perdagangan berikutnya, sehingga pada level pedagang eceran akan terkondisi untuk menggunakan sistem penjualan per satuan berat (kilogram).
Saya mengerti hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun sistem tumpuk yang selama ini kita gunakan cenderung berkontribusi pada besarnya variasi harga antar responden dan antar titik waktu. Mengapa tidak menggunakan metode baru? Jika kita meragukan hasil yang akan dicapai, tidak ada salahnya melakukan semacam pilot project. Pemerintah bisa memfasilitasi beberapa produsen, pedagang besar/pengumpul, dan pedagang eceran dengan timbangan dan kemudian kita bandingkan perkembangan harga dari komoditi hasil pertanian dan perikanan yang dijual dengan sistem tumpuk/ikat versus sistem per satuan berat, mulai dari level produsen sampai pedagang eceran. Setidaknya saya percaya, variasi harga akan lebih tereliminir.
Sesungguhnya apa yang saya usulkan di sini hanyalah potongan kecil dari proses pembelajaran dan inovasi secara terus-menerus untuk Maluku yang lebih baik. Semoga berguna!

Dimuat di harian Ambon Ekspres edisi Senin, 6 Juni 2016

Komentar