Selasa, 29 Juli 2014, dalam salah
satu berita di media online nasional, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
Chairul Tanjung menyatakan optimis inflasi Juli 2014 di bawah 1 persen, dengan
faktor pendorongnya pangan yang terkendali. Padahal selain momen Lebaran,
kenaikan tarif tegangan listrik (TTL) per 1 Juli 2014 dan tahun ajaran baru
juga berpotensi memicu inflasi. Bagaimana dengan inflasi di Kota Ambon?
Sudah menjadi catatan kita bersama
bahwa selain kebijakan Pemerintah dan momen insidentil seperti tahun ajaran
baru, hari raya, dan wisuda perguruan tinggi, inflasi Kota Ambon turut mendapat
kontribusi positif dari kelompok komoditi ikan segar dan kelompok komoditi sayuran.
Kedua kelompok komoditi tersebut bahkan mampu membuat inflasi di Kota Ambon
sebagai suatu anomali terhadap pola inflasi secara umum di Indonesia. Sebut
saja deflasi Kota Ambon bulan Juni 2013 sebesar 0,15 persen yang adalah
satu-satunya deflasi dari 66 kota yang menghitung Indeks Harga Konsumen (IHK)
di Indonesia pada waktu itu. Padahal di tanggal 22 Juni 2013-nya Pemerintah
secara resmi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
yang serta merta memicu kenaikan tarif angkutan secara nasional, termasuk di
Kota Ambon yang mencatat komoditi tarif angkutan dalam kota sebagai kontributor
inflasi terbesar. Akan tetapi inflasi tersebut tertutupi oleh deflasi yang
terjadi pada kelompok komoditi ikan segar dan kelompok komoditi sayuran,
khususnya komoditi ikan layang (momar), ikan cakalang, kacang panjang, lemon
cina, sawi hijau, bawang merah, dan juga deflasi pada komoditi emas perhiasan.
Terakhir kali inflasi bulanan
selama semester 1 Kota Ambon di bawah 1 persen adalah pada tahun 1997 dan
kembali terulang pada semester 1 tahun 2014. Selama 6 bulan ini, inflasi Kota
Ambon setiap bulannya kurang dari 1 persen. Lima komoditi yang dominan
menyumbang inflasi selama semester 1 2014 ini adalah dari kelompok komoditi
ikan segar, kelompok komoditi sayuran, komoditi tarif angkutan udara (hampir
setiap bulan memberikan kontribusi positif), dan kelompok komoditi perumahan,
air, listrik, gas, dan bahan bakar (gas elpiji yang mengalami kenaikan pada
awal tahun; pasir dan tukang bukan mandor pada Juni 2014).
Apresiasi patut diberikan kepada para
pemangku kepentingan di daerah ini yang terus melakukan program-program
pendukung terkait isu pengendalian inflasi. Ada program penyediaan bibit-pupuk
sayuran bagi masyarakat, ada cold storage
yang siap menampung stok ikan untuk kebutuhan di musim paceklik, stok bahan
kebutuhan pokok yang terjaga, sosialisasi pasca produksi untuk komoditi ikan
segar, dan lain sebagainya. Momentum hari raya yang berpotensi sebagai pemicu
inflasi pun tidak lagi menjadi momok ketika stok terjaga. Akan tetapi kita
tetap harus mewaspadai gejolak dari kelompok komoditi ikan segar dan sayuran.
Mengapa demikian? Karena intervensi yang dilakukan para pemangku kepentingan
belum 100 persen mampu mengendalikan keseluruhan mekanisme harga di pasar.
Masih ada faktor musim. Jujur, terkendalinya harga ikan segar dan sayuran turut
disumbangkan oleh faktor cuaca dimana sejatinya kita ada di puncak musim
penghujan akan tetapi untuk tahun ini tidak demikian adanya. Selanjutnya
bagaimana? Mengingat musim merupakan faktor yang tidak bisa kita intervensi,
lalu apa yang bisa kita intervensi?
Informasi yang diperoleh dari para
pedagang ikan di Pasar Mardika adalah ada kecenderungan masyarakat untuk
mengkonsumsi jenis ikan tertentu. Bila stok jenis ikan tersebut di pasar
(penawaran) berkurang padahal di satu sisi permintaan dari masyarakat relatif
tetap, sesuai hukum ekonomi, otomatis harga akan meningkat. Hal ini lalu coba
disiasati dengan menyediakan alternatif lain, yakni menyalurkan ikan jenis tertentu
tersebut yang sebelumnya telah distok di cold
storage yang harganya lebih stabil. Sayangnya, masyarakat kita terdogma
dengan makan ikan itu harus yang segar. Masyarakat akan tetap memilih membeli
ikan jenis tertentu tersebut versi fresh
from the sea sekalipun harganya lebih mahal daripada membeli versi cold strorage. Solusi untuk masalah
tersebut tidak bisa hanya 1 arah dari para pemangku kepentingan. Masyarakat
harus turut berperan serta. Berikut ini beberapa butir solusi yang menurut saya
bisa membantu menjaga kestabilan harga kelompok komoditi ikan segar dan
kelompok komoditi sayuran:
1. Sosialisasi tentang kandungan gizi ikan dari cold storage yang tak kalah dengan ikan
segar yang langsung dijual di pasar perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum di
sekolah. Prakarya di sekolah juga bisa dalam bentuk mengembangkan kreatifitas
anak untuk mengolah ikan menjadi produk yang tahan lama. Solusi ini bersifat
investasi dan perlu dimulai dari sekarang untuk masyarakat yang tergolong
anak-remaja, mengingat pada kelompok masyarakat yang tergolong dewasa sudah
sangat sulit untuk mengubah kebiasaan yang ada.
2. Perlu adanya pemetaan spot-spot sentra produksi
ikan segar dan sayuran dengan informasi rata-rata jumlah produksi sepanjang
tahun untuk terus dimonitor pihak terkait, termasuk intervensi yang harus dipersiapkan
para pemangku kepentingan sebagai antisipasi pada musim-musim tertentu.
3. Pemerintah melalui Kepala Pasar membangun suatu
sistem untuk mengontrol stok ikan segar dan sayuran di pasar setiap saat
khususnya pada saat musim paceklik, sehingga para pelaku pasar tidak
serta-merta menggunakan cuaca/musim sebagai alasan menaikkan harga pada
waktu-waktu tertentu.
4. Pemerintah proaktif mengatur peredaran jenis
ikan yang dijual di pasar. Misalkan ketika penawaran ikan layang (momar) dari
pedagang menurun yang artinya harga pasti meningkat, semua stok ikan layang
yang ada di pedagang diambil seluruhnya oleh Pemerintah dan sebagai gantinya
stok ikan layang yang ada di cold storage
dilepas ke pasar. Hal ini akan menjamin kestabilan harga karena masyarakat
tidak memiliki alternatif lain.
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Rabu, 6 Agustus 2014
Komentar
Posting Komentar