Beberapa waktu terakhir ini, salah
satu trending topic di Indonesia yang
turut mendapat perhatian dunia internasional adalah kontroversi Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai bentuk revisi atas UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu pokok penting RUU tersebut
yang kemudian menuai pro-kontra adalah mengembalikan lagi mandat DPRD untuk
memilih pemimpin lokal, seperti gubernur, walikota atau bupati. Bagaimana pro
dan kontranya tidak akan dibahas di sini karena ada banyak ahli dan pakar yang
berkompeten mengulas tentang hal tersebut seperti yang sudah kita saksikan di
berbagai media komunikasi. Tulisan ini lebih bertujuan untuk menambah wawasan
keilmuan kita dengan menganalogikan proses pilkada sebagai suatu proses pengumpulan
data.
Ada 2 metode pengumpulan data yang
lazim dilakukan di seluruh dunia termasuk di Republik Indonesia ini, yakni
sensus dan survei. Sensus adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui
pencacahan semua unit populasi di seluruh wilayah untuk memperoleh
karakteristik populasi pada saat tertentu. Dan survei adalah cara pengumpulan
data yang dilakukan melalui pencacahan sampel di suatu wilayah untuk
memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu.
Ada 3 macam sensus yang
diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia, masing-masing setiap 10 tahun
sekali. Sensus Penduduk (SP) dilakukan pada tahun berakhiran 0, Sensus
Pertanian (ST) pada tahun berakhiran 3, dan Sensus Ekonomi (SE) pada tahun
berakhiran 6. Sedangkan untuk survei, ada begitu banyak macam survei yang
dilakukan sepanjang waktu dengan berbagai tujuan dan kepentingan baik oleh
badan resmi yang ditunjuk Pemerintah maupun oleh pihak lain. Contoh survei yang
rutin dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur kemiskinan secara
makro adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan terhadap
sejumlah sampel yang hasilnya nantinya akan diagregasikan sebagai data kabupaten/kota,
provinsi dan nasional. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing baik dari segi waktu, pembiayaan, cakupan, maupun tingkat
kesalahan. Sampai di sini dapat dianalogikan pilkada langsung sebagai metode
sensus dan pilkada tak langsung sebagai metode survei.
Bagaimanakah perbandingan antara
sensus (baca: pilkada langsung) dengan survei (baca: pilkada tak langsung)?
- Pelaksanaan sensus memakan waktu lebih lama dibandingkan pelaksanaan survei.
- Sensus membutuhkan biaya yang sangat besar; survei membutuhkan biaya lebih sedikit.
- Sensus dilakukan terhadap semua unit populasi (baca: pemilih); survei dilakukan hanya terhadap sebagian unit populasi.
- Hasil sensus secara langsung menggambarkan karakteristik populasi; hasil survei menggambarkan sebagian unit populasi yang diasumsikan mewakili atau merepresentasikan karakteristik populasi.
- Kesalahan yang mungkin muncul pada metode sensus adalah coverage error (kesalahan cakupan) dan human error (kesalahan dari sisi petugas); sedang kesalahan yang mungkin muncul pada metode survei adalah sampling error (kesalahan sampling), di samping juga coverage error (kesalahan cakupan) dan human error (kesalahan dari sisi petugas).
Perbandingan yang dilakukan di
atas hanya bersifat kuantitatif dan tentunya masih harus disempurnakan lagi
sebelum dijadikan dasar pertimbangan dalam memutuskan diterima atau tidaknya
RUU Pilkada tersebut oleh pihak yang berwenang. Pertimbangan lain seperti
hakikat berdemokrasi sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945 juga pasti menjadi
landasan pikir dan aksi. Harapannya, perbandingan antara pilkada langsung
versus pilkada tak langsung dengan analogi sensus versus survei tersebut
kiranya memberikan pemahaman bahwa apapun keputusan akhir nanti, masing-masing
mempunyai plus-minusnya. Tinggal bagaimana kita selaku subyek dan obyek dalam
proses berdemokrasi memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudaratnya dari
pilihan apapun yang ditetapkan para wakil rakyat.
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Kamis, 18 September 2014
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Kamis, 18 September 2014
Komentar
Posting Komentar