Dari Ketidakmungkinan


Mungkin kisah yang akan saya bagikan di sini tidaklah seluar biasa yang dialami oleh orang lain. Tetapi sudah menjadi komitmen saya pribadi bahwa ketika Tuhan mengijinkan saya  menjalani apa yang menjadi pergumulan saya, maka saya akan membagikannya bagi orang lain. Kiranya melalui pengalaman yang sederhana ini, banyak orang yang terinspirasi dan tetap semangat berdoa. Hehehe....

Januari 2015
          Saya lupa tanggal tepatnya, tapi yang pasti hal tersebut terjadi tidak lama berselang setelah perayaan Tahun Baru 2015. Saat itu saya sedang merenungkan tanggung jawab Tim Litbang di gereja (saya salah satu pengurusnya) yang akan segera berakhir di tahun 2015, padahal ada banyak tanggung jawab yang belum diselesaikan. Salah satunya adalah penyusunan sejarah jemaat. Dalam renungan saya tersebut spontan saya berceletuk, “Co Tuhan Yesus kasi beta 1 bulan ka Belanda ka.. Mangkali beta bisa dapa info pendukung. (Coba Tuhan ngasih aku ke Belanda selama sebulan.. Mungkin aku bisa nyari info pendukung)” Sampai di situ saja perenungan saya dan celetukan itupun tidak pernah dipikirkan lagi.

Februari 2015
           Sekitar pertengahan Februari 2015, saya berada di meja kerja saya di kantor dan merasa suntuk dengan pekerjaan rutin saya yang tidak ada habis-habisnya. Untuk mengalihkan kejenuhan, saya lalu iseng membaca berita di internet yang entah bagaimana berlanjut ke pencarian informasi beasiswa di Belanda. Saya kemudian menemukan informasi 7 beasiswa short course (kursus singkat) yang relevan dengan instansi tempat saya bekerja. Setelah menyimpan file informasi tersebut, saya kembali melanjutkan pekerjaan saya. Jujur, saya sebenarnya juga trauma dengan kegiatan melamar beasiswa-beasiswa seperti itu. Saya pernah gagal melamar beasiswa S3 untuk AusAID dan Bappenas. Saya juga pernah gagal ketika melamar beasiswa short course ke Belanda. Pengalaman itu membuat saya agak malas melamar beasiswa lagi.
          Seusai jam kantor saya sempat bermain tenis meja dengan seorang teman. Selesai bermain pingpong, saya tidak langsung pulang. Saya lalu membaca ke-7 informasi tersebut dan kemudian memutuskan 1 beasiswa yang paling sesuai dengan bidang pekerjaan saya. Karena saya pernah melamar beasiswa sebelumnya, di laptop saya sudah ada file ijazah-transkrip nilai S1-S2, TOEFL ITP Score Report, dan pas foto. Dokumen-dokumen itu lalu saya kirimkan untuk melamar Public Economics short course pada Maastricht University, tanpa harapan apa-apa. Secara sudah sering gagal sih. Dan pulanglah saya.
              Kurang dari 2 hari saya menerima e-mail balasan dari Maastricht University yang menyebutkan dengan sangat menyesal mereka tidak bisa memproses aplikasi saya dikarenakan TOEFL saya adalah TOEFL Score Prediction, bukan seperti yang mereka minta. Saat itu perasaan saya jujur antara senang dan kecewa. Senang karena mereka merespons aplikasi saya, kecewa karena TOEFL saya tidak sesuai yang diminta. Sempat berasa seperti kalah sebelum berperang. Saya lalu membalas e-mail mereka. Kurang lebihnya, inilah bunyi e-mail balasan saya:

Terima kasih untuk responsnya yang cepat atas e-mail saya. Saya mengerti bahwa sertifikat TOEFL yang saya sampaikan tidak sesuai dengan yang diminta. Namun izinkanlah saya menjelaskan keadaan saya. Saya tinggal dan bekerja di Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku. Provinsi Maluku terletak di bagian timur Indonesia, jauh dari Pulau Jawa yang adalah pusat pendidikan di Indonesia. Di seluruh Provinsi Maluku yang berkompeten menyelenggarakan tes TOEFL adalah Universitas Pattimura dan bahwa TOEFL ITP Score Report adalah pilihan terbaik yang bisa didapatkan. Dengan memberikan penjelasan ini bukan berarti saya meminta pengecualian. Saya hanya berusaha menjelaskan kenapa TOEFL saya tidak sesuai dengan yang diminta. Sekali lagi, terima kasih untuk responsnya.

              Sampai dengan beberapa hari saya tidak kunjung menerima balasan e-mail dari mereka. Saya menceritakannya kepada atasan langsung saya. Beliau mengatakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Saya ingat waktu itu berkata kepada beliau, “Iyaa sih, seng ada yang mustahil par Tuhan, Usi. Tapi kayaknya susah deh! (seng=tidak)” Seketika itu saya spontan menutup mulut saya dan kemudian meralat kata-kata saya, “Amin, Usi. Seng ada yang mustahil voor Antua. (voor=buat; Antua=Tuhan)” Kembali ke meja kerja, pikiran saya masih saja bertanya-tanya. Saya sempat membatin, “Tuhan, dong blom-blom balas lai? (dong=mereka)” Di sinilah luar biasanya Tuhan, karena setelah saya membatin, langsung seperti ada yang berkata-kata dalam pikiran saya, “Sabar. Ale pung kasus ni kan seng biasa. Dong perlu waktu untuk bicarakan akang.(ale=kamu)”
              Keesokan malamnya saya menerima e-mail balasan. Sebelum membuka dan membaca-nya, saya berdoa minta kekuatan dari Tuhan untuk menerima apapun isi e-mail itu. Isi e-mail tersebut kurang lebihnya adalah :
Dewan kami telah membicarakan mengenai keadaanmu dan untuk kasusmu telah diputuskan TOEFL-mu diterima untuk proses aplikasi.
Setelah membaca e-mail itu, perasaan saya tidak dapat dilukiskan. Saya hanya bisa mengatakan, “You are amazing, Jesus. Tuhan Yesus luar biasa!” Memang benar bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Yang pertama karena TOEFL saya bukan seperti yang diminta. Yang kedua bahwa nilai TOEFL saya hanya 527, padahal yang diminta minimal 600. Dan yang ketiga, nilai TOEFL saya itu adalah hasil tes bulan Mei 2012, lebih dari 2 tahun lalu. Namun mereka sudah memutuskan untuk menerima TOEFL saya. Dan bahwa, salah seorang sahabat saya yang baru menyelesaikan S2-nya di Belanda dan juga teman kantor saya, mereka siap untuk membantu saya dalam menyiapkan aplikasi saya. Again, Jesus is amazing! Kurang lebih 3 hari kemudian saya menyelesaikan semua dokumen yang diminta dan mengirimkannya. Termasuk di antara semua dokumen itulah rekomendasi dari Kepala Kantor tempat saya bekerja, mantan Kepala Kantor saya yang sekarang menjadi Kepala Kantor instansi kami pada salah satu provinsi di Pulau Jawa, dan mantan pembimbing saya yang sekarang menjabat eselon I instansi kami di Pusat.
                 Pada akhir Februari 2015 saya sedang melakukan perjalanan dinas ke Maluku Tenggara ketika saya menerima e-mail dari Maastricht University yang kurang lebih isinya menyampaikan bahwa saya diterima untuk mengikuti Public Economics Short Course yang akan diselenggarakan selama 4 minggu penuh di Maastricht, Belanda. Tepat seperti yang pernah saya minta kepada Tuhan, 1 bulan ke Belanda. Sampai di sini satu tahap terlewati. Tahap berikutnya adalah melamar beasiswa Netherlands Fellowship Programmes (NFP) dari Kerajaan Belanda yang disediakan bagi kurang lebih 51 negara.

Maret 2015
         Untuk lebih matangnya persiapan aplikasi ke NFP, saya menghubungi rekan di Kantor Pusat kami, menanyakan siapa orang kantor kami dari seluruh Indonesia yang pernah menerima beasiswa short course NFP. Mungkin ada banyak orang yang sudah pernah menerima, tetapi hanya nama satu orang yang disampaikan ke saya. Sekali lagi, puji Tuhan, orang itu adalah senior saya dan kami memang saling mengenal. Saya lalu menghubungi senior saya tersebut yang saat ini sedang melanjutkan studi di Australia. Berbekal informasi dari senior saya tersebut dan juga senior saya yang baru menyelesaikan pendidikannya di Belanda, saya mempersiapkan dokumen-dokumen aplikasi NFP saya. Kurang lebih 1 minggu mempersiapkan segala sesuatu, saya kemudian mengirimkannya ke NFP melalui Maastricht University.
        Pada suatu hari Sabtu di bulan Maret 2015, setelah saya mengirimkan semua dokumen aplikasi NFP, saya bangun dan bilang kepada Tuhan, “Tuhan Yesus, hari ini beta saat teduh sambil baring jua ee..” Secara hari itu memang saya merasa kurang enak badan. Setelah saya berdoa, membaca Alkitab dan renungan harian saya, muncul suara di pikiran saya yang berkata, “Ale percaya seng yang Tuhan bisa kasi ale ka Belanda?” Saya diam sejenak sebelum menjawab, “Beta percaya, Tuhan sanggup!

       Antara yakin akan janji Tuhan dan kegembiraan akan ke Belanda, saya sudah merancangkan banyak hal. Seperti nanti tiap akhir pekan mau kemana. Saya sudah merencanakan akhir pekan pertama ke Paris, akhir pekan kedua ke Jerman, akhir pekan ketiga ke Belgia, dst. Bersamaan dengan semua hal tersebut, ada 2 hari berturut-turut dimana bagian Alkitab yang saya baca sesuai renungan harian saya berbicara tentang menepati nazar. Saya punya pengalaman dengan hal tersebut. Saat kuliah di Jakarta dulu, saya pernah menjanjikan sesuatu kepada Tuhan. Ketika janji itu tidak kunjung saya tepati, saya diingatkan 2 kali lewat bacaan di Mazmur tentang menepati nazar. Saya lalu bertanya dalam hati, “Beta blom tepati janji yang mana, Tuhan?” Tuhan menjawab pertanyaan saya itu beberapa hari kemudian ketika saya sedang dalam ibadah syukur ulang tahun keponakan saya. Tiba-tiba di pikiran saya muncul kata-kata, “Ale su janji yang kalo Tuhan kasi 1 bulan ka Belanda, ale mau coba cari bahan untuk sejarah jemaat. Kanapa skarang ale ator laeng?” Seketika itu saya terdiam. Kemudian saya berkata dalam hati, “Tuhan Yesus, ampong beta. Samua rencana akhir pekan itu beta batalkan! Tuhan tolong kasi beta jalan deng kesempatan jua voor bisa cari bahan sejarah jemaat.” Tuhan Yesus sungguh luar biasa. Di sini kembali tersirat bahwa saya akan ke Belanda. Padahal pengumuman hasil seleksi masih akhir Mei nanti.

Mei 2015
              Menghitung hari dari Maret sampai Mei itu lumayan menyiksa. Bagaimana harus tetap menata hati dan pikiran agar jangan terlalu optimis tapi juga jangan pesimis. Kalau terlalu optimis, takutnya pas gagal akan sangat mengecewakan. Kalau terlalu pesimis, takutnya jadi kurang beriman. Di sinilah saya belajar bagaimana menjaga hati untuk tetap percaya pada janji Tuhan walaupun segala sesuatunya belum jelas. Lagu pujian seperti Tak Ku Tahu Kan Hari Esok dan sejenisnya kemudian menjadi lagu favorit untuk menguatkan iman. Mazmur 119:49-50 kemudian menjadi ayat favorit saya, “Ingatlah firman yang Kaukatakan kepada hamba-Mu, oleh karena Engkau telah membuat aku berharap. Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.

        Hal lain yang membuat penantian ini semakin menggalaukan adalah rencana dari tahun lalu untuk berlibur ke Vietnam dan Thailand pada pertengahan Juni 2015. Seperti tahun lalu, saya merencanakan nebeng kegiatan kantor saat pertengahan tahun untuk cuti ke luar negeri. Lumayan kan menghemat tiket Ambon-Jakarta PP. Hanya kalau tahun lalu, semua hal terkait cuti seperti tiket pesawat, voucher hotel, tiket kereta api, dll, sudah saya OK-kan dari awal April. Tapi untuk tahun ini saya tidak merasakan gerakan apa-apa di hati untuk mengatur cuti saya. Masalahnya kalau benar Tuhan mengijinkan ke Belanda, rencananya jatah cuti tahunan akan digunakan untuk tujuan sampingan yang sudah dikomitmenkan dengan Tuhan.

             Saya sempat meragukan kelulusan saya karena sampai mendekati akhir Mei tidak ada informasi apapun yang saya terima. Saya sempat berpikir, “Tuhan, kalo beta seng lulus, loko bae beta bale haluan liburan jua. (loko bae=lebih baik; bale=balik/ganti)” Namun saya tidak mendapat jawaban apa-apa dari Tuhan saat itu. Sampai kemudian senior saya yang baru kembali dari Belanda itu berkata, “Kalo memang kamu diijinkan untuk cuti, tentu kejadiannya akan seperti tahun lalu, disiapkan dari jauh-jauh hari. Tapi kenapa sekarang ga? Karena kamu ga yakin kalo itu mau Tuhan kan? Kamu sudah komitmen untuk menunggu pengumuman. Tunggulah. Dari situ baru mengatur hal lainnya.” Itu kemudian menjadi peneguhan bagi saya dan saya kemudian membatalkan rencana cuti serta berusaha mengenyahkannya jauh-jauh dari pikiran saya. Hal tersebut juga yang menuntun saya membaca Yesaya 55:6-13 dan kembali diteguhkan di ayat 12a, “Sungguh, kamu akan berangkat dengan sukacita dan akan dihantarkan dengan damai...

Juni 2015
              Pada tanggal 1 Juni 2015, penantian itu menjadi mengganggu. Secara saya diinformasikan akan menerima informasi hasil seleksi di  akhir  Mei  2015. Berdasarkan  saran dari senior saya, saya kemudian mengirim e-mail, menanyakan hasil yang katanya akan disampaikan di akhir Mei 2015. Dua hari kemudian, saya mendapat e-mail dari Maastricht University. Saat itu jam setengah 7 malam dan saya masih berada di kantor mempersiapkan leaflet mengingat minggu depannya saya akan tugas ke luar kota. Saat akan mematikan laptop, hati saya tergerak untuk membuka e-mail. Di e-mail itu saya mendapat mendapat ucapan selamat dan informasi bahwa saya berhasil menerima beasiswa NFP.
             Selama periode Maret-Mei 2015 itu saya sering membayangkan bagaimana ekspresi saya ketika mendengar hasil seleksi dan saya diterima. Ada banyak alternatif yang muncul di pikiran saya, tapi semua itu berbeda dengan ekspresi saya saat itu. Saya hanya bengong dan berkata, “Ini sudah ni Tuhan? Akang sudah ni ka?” Ketepatan saat itu ada teman kantor yang juga belum pulang. Saya bertanya pada teman saya itu, “Tolong bilang beta pung ekspresi muka skarang ni bagimana?” Katanya, “Kayak lagi banyak pikiran.” Mungkin benar seperti katanya. Saat itu di pikiran saya sedang berkecamuk banyak hal, dan yang terbesar adalah ketakjuban akan pekerjaan Tuhan yang Ia nyatakan.
  
Oktober 2015
        Saya tiba di Belanda pada minggu terakhir September 2015 dan rencananya akan mengikuti kursus sampai  akhir minggu ke-3 Oktober 2015. Di awal-awal pembicaraan penyusunan sejarah jemaat, kami dari Litbang beberapa kali berdiskusi dengan salah satu pendeta yang pernah mengenyam pendidikan di Belanda. Pada suatu kesempatan di akhir Agustus 2015, saya sempat bertemu seusai beliau memimpin ibadah Minggu di gereja kami. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan, apa yang bisa saya lakukan saat saya berada di Belanda terkait materi pendukung untuk penyusunan sejarah jemaat. Beliau lalu merekomendasikan nama seorang warga negara Belanda keturunan Maluku di Den Haag. Selain itu, saya dan salah satu rekan dari Litbang pernah membangun komunikasi dengan seorang warga negara Belanda keturunan Maluku juga di Utrecht. Puji Tuhan, seorang sahabat yang ketepatan sedang mengikuti pendidikan di Belanda dan berkesempatan menjemput saya di Bandara Schipol, memiliki akses kepada kedua orang yang kami butuhkan tersebut. Melalui sahabat saya itu, saya kemudian mengatur janji dan bertemu dengan salah satu dari kedua orang tersebut yang berdomisili di Den Haag dan berkesempatan menyampaikan permasalahan kami terkait minimnya informasi tertulis tentang perkembangan gereja protestan di Maluku, dan secara khusus jemaat kami. Sedangkan salah seorang lainnya yang berdomisili di Utrecht telah mengabari saya bahwa beliau akan mengusahakan informasi-informasi yang kami butuhkan dan jika ditemukan maka beliau akan membawanya ke Ambon pada saat berkunjung di akhir tahun nanti.

Perjalanan sampai menerima beasiswa short course dan kisah selama saya berada di Belanda, menunjukkan dengan nyata penyertaan dan campur tangan Tuhan. Semua yang saya butuhkan disediakan Tuhan pada waktunya dan dengan cara yang ajaib. Mulai dari student administrator yang menjemput di stasiun dan bersedia membantu mencetak jika ada dokumen yang perlu dicetak, hal mana tidak dilakukannya kepada semua student. Ada keluarga yang tidak disangka bertemu di depan Kantor Pemerintahan Maastricht dan yang kemudian meminjamkan semua keperluan, termasuk sepeda dan berkali-kali mengundang makan siang/malam. Ada kenalan yang juga berkali-kali mengundang saya makan. Semuanya dimulai dari satu gerakan di hati untuk meminta pergi ke Belanda selama 1 bulan dengan tujuan mencari informasi terkait sejarah jemaat. Tuhan mengabulkannya, tapi juga dengan bonus bisa belajar ilmu terkait pekerjaan saya. Sungguh, benarlah perkataan ini:
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.

Komentar

  1. Kk ina benar-benar di berkati Tuhan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puji Tuhan, Sid. Katong samua ni hanya alat kio. Kiranya melalui katong pung hidup, Antua makin ditinggikan dan olehnya semakin banyak orang yang terberkati...

      Hapus
  2. lina hebat.....klo kata orang jawa ya lin...Gusti Allah ora sare........hebet lina...pengen juga yayuk kesana..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulilah, Mbak Yayuk... Kalo karena hebat, ga mungkin lah. Mbak Yayuk taulah seperti apa "rajin"-nya Pauline itu. Ngomong english pun belepotan. Hah, semua karena kemurahan Tuhan saja.

      Anyway, dirimu juga bisa Mbak Yayuk. Lah, diriku contohnya eee! So, smangaaat Mbak....^_^

      Hapus

Posting Komentar