Salah satu fenomena bersejarah
telah terjadi di Kota Ambon dalam beberapa waktu belakangan ini dan yang
tercatat dalam penghitungan inflasi (baca: Indeks Harga Konsumen) Kota Ambon. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah Kota Ambon, harga komoditi air non leding (PDAM) menjadi
1 dari 5 komoditi dengan andil terbesar memicu inflasi. Untuk meyakinkan
informasi tersebut, saya bertanya ke salah satu warga Kota Ambon yang berusia
di atas 60 tahun dan yang mengalami kejadian berkurangnya debit air di rumah
beliau, apakah seingat beliau, sebelumnya Kota Ambon pernah mengalami kejadian
seperti saat ini? Jawabannya adalah belum pernah. Saya kemudian teringat dengan
tayangan di salah satu stasiun berita internasional tentang kisah kekeringan di
California Selatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah hal yang sama
mungkin akan terjadi di Kota Ambon? Saya tidak akan membahas dari sudut pandang
tersebut di sini, lagipula saya bukan orang yang berkompeten untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Saya hanya ingin mengulas fenomena kelangkaan air di Kota
Ambon terkait dengan perkembangan inflasi Kota Ambon di tahun 2016.
Salah satu pertanyaan wartawan
dalam press release Berita Resmi
Statistik (BRS) Perkembangan Harga Konsumen Kota Ambon dan Kota Tual pada
Senin, 1 Februari 2016 di Ruang Video Conference BPS Provinsi Maluku adalah,
apakah kelangkaan air yang terjadi mempengaruhi inflasi yang dialami Kota Ambon?
Pada saat itu, jawaban yang diberikan adalah belum. Dengan pertimbangan,
komoditi-komoditi dengan andil terbesar bagi inflasi Kota Ambon tidak secara
langsung memiliki keterkaitan dengan kelangkaan air yang terjadi. Subkelompok
komoditi yang secara langsung berkaitan erat dengan ketersediaan air adalah
sayur-sayuran. Dari 18 jenis sayuran yang digunakan dalam menghitung inflasi
Kota Ambon, pada Januari 2016 yang lalu, 10 jenis sayuran mengalami inflasi,
yakni bayam, daun melinjo, kacang panjang, kangkung, kentang, kol, labu siam,
tauge/kecambah, tomat sayur, wortel. Komoditi tomat buah dari subkelompok
buah-buahan dan komoditi lemon cina dari subkelompok bumbu-bumbuan juga
mengalami kenaikan. Akan tetapi bahwa hal tersebut dikarenakan kelangkaan air, diperlukan
penelitian lebih lanjut. Dibutuhkan informasi mengenai kebutuhan air dari usaha
pertanian masing-masing komoditi tersebut, jumlah produksi dari
komoditi-komoditi tersebut yang diusahakan di Kota Ambon, dan berapa persentasi
pasokannya ke sentra-sentra perdagangan untuk selanjutnya dikonsumsi
masyarakat.
Selain subkelompok sebagaimana
tersebut di atas, kelompok komoditi yang juga berpotensi mengalami inflasi
akibat kelangkaan air adalah kelompok komoditi makanan jadi, minuman, rokok,
dan tembakau; kelompok komoditi perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar;
serta kelompok komoditi kesehatan. Dua dari beberapa komoditi yang digunakan
untuk menghitung inflasi Kota Ambon pada kelompok komoditi perumahan, air,
listrik, gas, dan bahan bakar adalah tarif kontrak rumah dan tarif sewa rumah.
Pada kedua komoditi tersebut, belum terjadi kenaikan harga, akan tetapi mulai
terjadi perubahan pada fasilitas air yang digunakan. Jika tadinya menggunakan
air ledeng/PDAM, beberapa rumah tangga sudah berubah menggunakan sumber lainnya,
yakni membeli air tanki.
Rata-rata inflasi yang terjadi di
Kota Ambon pada bulan Januari selama tahun 2006-2016 adalah 1,36 persen.
Inflasi Kota Ambon periode Januari 2016 yang sebesar 0,28 persen tergolong
kecil dalam periode 10 tahun terakhir ini, selain inflasi Januari 2007 yang
sebesar 0,10 persen dan Januari 2011 yang mengalami deflasi sebesar 0,83 persen.
Akan tetapi tentu masih terlalu dini untuk menyatakan hal tersebut adalah
tanda-tanda baik untuk pergerakan harga di bulan-bulan mendatang. Gubernur Bank
Indonesia di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada hari Jumat, 12 Februari 2016 sebagaimana
dilansir salah satu media nasional Indonesia menyatakan bahwa ancaman laju inflasi
yang tinggi masih mengintai Indonesia pada 2016 ini, khususnya dari harga
pangan. Selama ini, harga pangan memang menjadi penyumbang besar terhadap
besaran inflasi. Potensi kenaikan harga pangan muncul akibat terlambatnya masa
tanam dan panen yang disebabkan musim kemarau panjang (El Nino) pada akhir 2015
lalu. Sementara pada pertengahan 2016, ada potensi musim hujan panjang. Terkait
dengan yang dinyatakan oleh Gubernur BI tersebut, kita perlu mewaspadai
komoditi-komoditi yang sebagian besar dipasok dari luar Kota Ambon. Jika daerah
pemasok mengalami goncangan inflasi akibat hal-hal terkait kondisi di daerah
tersebut sehingga mempengaruhi pasokan ke Kota Ambon, maka hal tersebut juga serta-merta
mempengaruhi pergerakan harga di Kota Ambon.
Fenomena kelangkaan air dan
hal-hal terkait pernyataan Gubernur BI adalah sebagian dari hal-hal yang perlu
kita waspadai terkait pergerakan harga di Kota Ambon. Masih ada aktor-aktor
lama pemicu inflasi yang sangat mungkin masih memainkan peranannya. Sebut saja
tarif angkutan udara dan ikan segar. Oh ya, jangan juga melupakan komoditi
bahan bangunan seperti pasir dan batu bata. Dari pengalaman kami mendata, harga
pasir di Kota Ambon dipengaruhi oleh lokasi penambangan. Ada momen-momen dimana
harga pasir meningkat dikarenakan lokasi penambangan yang semakin jauh dari
tempat pengangkutan dengan mobil. Kemudian untuk komoditi batu bata, jika terjadi
hujan terus-menerus, akan memicu harga dikarenakan proses pengeringan yang
terhambat.
Sebagaimana seluruh masyarakat dan
juga para pemangku kepentingan, saya pun mengharapkan harga-harga komoditi di
Ambon dan juga wilayah lainnya di Maluku terkendali. Harapan saya tulisan ini
menjadi masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pengendalian
inflasi, demi Maluku yang lebih sejahtera.
Dimuat pada kolom opini Harian Ambon Ekspres edisi Kamis, 25 Februari 2016
Dimuat pada kolom opini Harian Ambon Ekspres edisi Kamis, 25 Februari 2016
Komentar
Posting Komentar