Beberapa waktu lalu saya membuat
postingan di salah satu media sosial tentang keinginan saya untuk maju sebagai
calon Walikota Ambon pada 2 periode mendatang. Postingan tersebut menimbulkan beragam
komentar yang pada intinya mendukung. Tentu saja ada yang mungkin menertawakan
atau takjub dengan pernyataan saya tersebut mengingat ini merupakan hal yang
tidak lazim menyatakan akan turut serta dalam suatu proses demokrasi
bertahun-tahun sebelumnya.
Saya bukan seorang politikus dan
juga tidak belajar politik secara khusus. Saya adalah seorang abdi negara di
bidang perstatistikan. Sehari-harinya saya bergaul dengan angka dan pemikiran
tentang bagaimana menemukan cara-cara yang kreatif untuk meningkatkan kualitas
data dan memperluas penggunaannya dengan metode yang efisien dan efektif.
Pernyataan saya untuk maju sebagai calon Walikota Ambon jauh-jauh hari
sebelumnya adalah salah satu hasil pemikiran agar suatu proses pilkada lebih
berkualitas dan berdaya saing.
Secara empiris, seseorang
menyatakan akan maju sebagai bakal calon kepala daerah 1 tahun sebelum proses
pemilihan. Paling lama 2 tahun sebelumnya. Mereka yang menyatakan akan maju
biasanya adalah public figure yang
dikenal secara luas. Mereka berbasis pada komunitas tertentu dan umumnya
berkantong tebal alias dari kelas ekonomi kuat. Mengapa saya menyinggung
tentang ketebalan kantong di sini? Karena umumnya seorang bakal calon kepala
daerah akan menjadi tempat bertemunya aneka proposal dengan beragam tujuan
kegiatan. Itu yang tertulis. Yang tidak tertulis bisa lebih dahsyat lagi.
Masyarakat umumnya sudah mengenal
seorang bakal calon kepala daerah. Hmm, sebentar. Apakah kita benar-benar
MENGENAL setiap bakal calon kepala daerah di wilayah kita masing-masing?
Mungkin kita memang mengenal beliau-beliau, tetapi itu terjadi dalam periode
1-2 tahun sebelum berlangsungnya proses pilkada. Sedangkan kita ketahui
bersama, periode itu merupakan masa-masa kritis bagi seorang bakal calon kepala
daerah. Arus perputaran semua kabar dan isu (apakah juga uang?) dari
masing-masing bakal calon akan menjadi begitu deras dalam periode tersebut. Dan
sayangnya, tidak semua masyarakat bijaksana untuk mencerna semua yang dilihat
dan didengarnya.
Saya kemudian berpikir, bagaimana
jika seorang bakal calon kepala daerah menyatakan akan maju dalam proses
pilkada jauh-jauh hari sebelumnya? Saya lalu menggunakan diri saya sendiri
sebagai proyek percobaan tentu dengan pertimbangan bahwa saya pun memiliki
kapasitas untuk menjadi seorang kepala daerah. Dimulai dari tulisan ini, saya
berharap bisa memberikan pembelajaran bagi masyarakat demi hadirnya
pemimpin-pemimpin yang lebih teruji.
Setiap orang yang berkecimpung atau
pernah bersinggungan dengan dunia penelitian tentu memahami dengan benar bahwa
di muka bumi ini tidak ada metodologi yang sempurna. Semua hal memiliki
kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana kita memilih metodologi yang sesuai
dengan tujuan penelitian kita dengan error
sekecil-kecilnya. Apa yang akan saya sampaikan di sini pun demikian, memiliki
kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi atas dasar pemikiran bahwa kita adalah
spesies yang dinamis dan terus berevolusi, saya memberanikan diri mengemukakan
teori ini. Jika seorang bakal calon kepala daerah menyatakan diri jauh-jauh
hari sebelumnya, yang dalam kasus saya 10 tahun sebelum, maka kurang lebihnya konsekuensi
yang akan timbul adalah sebagai berikut.
Pertama, hidup bakal calon kepala daerah tersebut tidak akan sama
lagi. Sudah tidak bisa lagi hidup semau
gue. Mau tidak mau, entah mendukung ataukah tidak, mata begitu banyak orang
akan terus memandang dan memantau. Dan karena kecenderungan manusia itu lebih
membahas kelemahan dan kekurangan sesamanya, berharaplah untuk tidak membuat
kesalahan yang fatal karena itu akan menjadi akhir dari perjalanan.
Kedua, seorang bakal calon kepala daerah akan lebih termotivasi.
Terkait dengan begitu banyak mata yang terus memantau 24 jam sehari dan 7 hari
dalam seminggu, seorang bakal calon kepala daerah tentunya ingin memberikan pencitraan
yang baik. Ia akan terus berupaya meminimalkan kesalahan yang mungkin timbul.
Bayangkan, betapa luar biasanya efek yang ditimbulkan bagi organisasi dan
komunitas dimana ia berada. Jika nanti ia terpilih, ia sudah terbiasa dengan
pola kerja yang baik dan jika nanti ia tidak terpilih pun, hidupnya tetap
memberi dampak.
Ketiga, seorang bakal calon kepala daerah memiliki lebih banyak
waktu untuk mempersiapkan dan terus menyempurnakan program yang mumpuni dan
tepat sasaran. Ini tentunya dengan asumsi bakal calon kepala daerah tersebut
memiliki think tank yang juga
mumpuni, bukan sekedar memetakan tujuan pemberian sumbangan guna meningkatkan
elektabilitas.
Keempat, masyarakat belajar untuk lebih menghargai setiap pribadi
tanpa melihat embel-embel di belakangnya. Lagi-lagi saya menjadi contoh di
sini. Bayangkan saja masyarakat di sekitar tempat tinggal saya, mereka tentu
akan lebih memberikan ruang bagi hal-hal positif yang saya sampaikan. Mungkin
jika sebelumnya ada yang memandang saya dengan sebelah mata karena kemudaan
saya, akan berpikir 2 kali, bagaimana
jika dia beneran jadi Walikota ya?
Kelima, masyarakat belajar untuk mengenali mutiara terpendam yang
kadang terbenam oleh silaunya jabatan dan ketebalan kantong seorang bakal calon
kepala daerah. Masyarakat akan menjadi lebih kritis karena memiliki ruang yang
lebih luas untuk mengenali calon pemimpinnya. Jika hal ini saya kaitkan dengan
ilmu time series (deret waktu),
masyarakat akan mengambil keputusan yang lebih baik karena referensi waktu yang
digunakan untuk analisa lebih panjang.
Saya adalah salah satu warga Kota
Ambon yang sedang mempersiapkan diri untuk maju memimpin kota ini beberapa
tahun yang akan datang. Anda siap memantau dan mengawasi kami?
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Sabtu, 28 Mei 2016
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Sabtu, 28 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar