Saya termasuk satu di antara sekian banyak orang yang bersentuhan dengan pasar tradisional. Jika alasan sebagian besar orang mungkin untuk berbelanja, alasan saya adalah karena saya menikmati pemandangan yang bisa saya dapatkan di sana. Beberapa tahun terakhir ini, sejak saya dipercayakan menangani data inflasi Kota Ambon dan Kota Tual, dimana sebagian dari data pendukungnya diperoleh melalui pencacahan harga di pasar tradisional. Maka semakin kuatlah alasan bagi saya untuk menikmati pasar tradisional.
Inspirasi tulisan ini hadir di
benak saya ketika beberapa waktu yang lalu melakukan pengawasan pencacahan Survei
Harga Konsumen untuk penyusunan inflasi di Kota Tual. Saya menyaksikan kondisi
yang tidak jauh berbeda dari yang saya lihat pada pasar tradisional di Kota
Ambon. Los-los di dalam pasar belum semuanya terisi. Para pedagang lebih
memilih untuk berjualan di pinggir jalan karena itu artinya semakin dekat
dengan konsumen. Dan karena fenomena yang umum kita temui adalah pasar
tradisional merupakan satu kesatuan dengan terminal angkutan umum, maka
ketidakteraturan yang ada menjadi obyek yang semakin menarik untuk dikritisi
melalui beberapa hal sebagai berikut.
Daya Tampung
Sejatinya pedagang-pedagang pada
pasar tradisional tertampung di dalam kesatuan bangunan yang memadai. Kenyataan
yang nampak dalam pandangan kita adalah jumlah pedagang yang ada melebihi
kapasitas yang tersedia. Sebagai konsekuensinya, para pedagang yang tidak
tertampung pada bangunan pasar akan menggunakan ruang terbuka yang seyogyanya
menjadi daya dukung dari suatu pasar tradisional, sebut saja lahan parkir. Dan
selama mereka membayar retribusi, nampaknya hal tersebut sah-sah saja.
Jika hal ini saya analogkan dengan
sistem yang lebih besar seperti penanganan pemukiman penduduk maka kenyataan
yang kita hadapi adalah belum optimalnya penataan kota sesuai peruntukannya. Masyarakat
sah-sah saja mendirikan bangunan, selama memiliki sertifikat tanah, uang untuk
membangun rumah, dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Bagaimana peruntukan lahan
yang dimilikinya, apakah merupakan sempadan sungai atau lereng bukit yang rawan
longsor, itu urusan nanti. Toh kita membayar IMB dan juga Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB)?
Prinsip
Keadilan
Menurut lokasi berjualan, saya
mencoba mengklasifikasikan para pedagang di pasar tradisional ke dalam kelompok
pedagang yang berjualan pada los/bangunan yang tersedia dan kelompok peda-
gang yang berjualan di luar los/bangunan yang
tersedia. Kelompok pedagang yang kedua ini cenderung menjadi pedagang yang lebih cepat dijangkau oleh
konsumen tanpa harus jauh-jauh masuk ke lokasi los/bangunan pasar utama. Tentu
diperlukan penelitian khusus untuk menyimpulkan tentang perbedaan omset antara
kedua kelompok pedagang tersebut, akan tetapi berdasarkan eye-catching diduga omset kelompok pedagang yang berjualan di luar
los/bangunan pasar lebih besar dibandingkan kelompok pedagang yang berjualan
pada los/bangunan yang tersedia.
Jika
dalam penyelenggaraan pembangunan, Pemerintah Daerah hanya menyediakan sarana
ala kadarnya dan selanjutnya seperti melakukan pembiaran, maka jurang antara
kelas-kelas sosial di dalam masyarakat akan semakin lebar, sulit terjembatani
dan bisa menimbulkan kerawanan sosial maupun lingkungan.
Fungsi Kontrol
Melihat keruwetan yang terjadi di
pasar tradisional, spontan akan muncul pertanyaan dimanakah para petugas yang
berwenang mengatur dan mengendalikan proses yang berlangsung? Ataukah memang
demikian perencanaan yang ditetapkan Pemerintah Daerah untuk penataan pasar
sebagaimana yang kita lihat? Saya yakin tidak demikian. Pemerintah Daerah melalui
instansi terkait tentu melakukan pengawasan. Akan tetapi bila memperhatikan
kondisi yang ada, rasanya monitoring dan konsolidasi yang dilakukan belum
maksimal dan masih harus terus ditingkatkan.
Logikanya, luas pasar tradisional
yang ada di suatu wilayah sudah barang tentu hanya sepersekian persen dari luas
wilayah suatu kota/kabupaten. Jika Pemerintah Daerah terkesan tidak maksimal
mengelola wilayah sekecil suatu pasar tradisional, bagaimana bisa mengendalikan
wilayah seluruh kota/kabupaten?
Demi Masa
Depan yang Seharusnya Lebih Baik
Mengingat saya adalah warga Kota
Ambon, saya akan menggunakan contoh Pasar Mardika di sini. Saya masih ingat
pada awal tahun 1990-an, betapa cantik dan rapinya kondisi Pasar Mardika. Lahan
parkir digunakan sesuai peruntukannya. Warga Kota Ambon masih bisa menikmati
pemandangan Pantai Mardika dari trotoar yang memang diisi oleh gerobak para pedagang
makanan dan minuman tapi masih tetap terkesan rapi. Seyogyanya kondisi Pasar
Mardika sekarang jauh lebih baik dari era tersebut. Tapi bagaimana
kenyataannya, bisa kita saksikan langsung. Pertanyaannya, bagaimana kondisi
Pasar Mardika beberapa tahun mendatang? Apakah anak-cucu kita akan menikmati
pasar yang lebih representatif dan manusiawi ataukah tidak?
Mungkin kita pernah mendengar
ungkapan: teman-teman terdekatmu menunjukkan siapa dirimu. Atau ungkapan lain
yang analog dengan itu: bacaan kesukaanmu menunjukkan siapa dirimu. Saya
mencoba mengaplikasikannya terhadap kondisi pasar tradisional: pasar tradisional
di kotamu menunjukkan kinerja pemerintah daerahmu. Bagaimana Pemerintah Daerah menangani
hal-hal yang lebih besar sedikit banyaknya ditunjukkan oleh bagaimana
Pemerintah Daerah mengelola pasar tradisional. Semoga pada akhirnya kita memiliki
pasar tradisional yang nyaman dan layak dibanggakan.
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Selasa, 26 Juli 2016
Saya Yeeessss.....
BalasHapusIyaa ee Pang. Suka gregetan melihat betapa amburadulnya arena timbang-menimbang SHK kita itu. Hehe...
Hapus