Hujan deras di Kota Ambon selalu
menimbulkan beragam respons dari masyarakat Kota Ambon. Bagi sebagian
masyarakat yang tinggal di daerah sulit air, hujan deras adalah berkah dan
memang dinanti-nantikan karena itu berarti pengeluaran untuk membeli air bersih
bisa dihemat. Namun tidak demikian dengan masyarakat yang tinggal di dekat kali
ataupun di lereng gunung. Mereka memiliki kenangan buruk dengan hujan deras.
Tentu masih segar dalam ingatan kita beberapa tahun lalu ketika banjir dan
longsor terjadi di sebagian besar wilayah Kota Ambon.
Beberapa waktu yang lalu ketika hujan
deras turun semalaman dan berlanjut sampai siang hari, beberapa titik rawan
banjir di Kota Ambon mengalami luapan air yang signifikan. Bagi yang akrab
dengan media sosial, kita dapat menyaksikan potret luapan air dengan tingkat
keparahan yang bervariasi antar wilayah, termasuk di wilayah Bandara Pattimura.
Lama-kelamaan sangat mungkin masyarakat di wilayah-wilayah tersebut akan
terjangkit fobia hujan deras. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Karena jika
tidak ada intervensi yang mumpuni dan konsisten, dan dengan mengingat wilayah
resapan air yang semakin tergerus, hal ini akan menjadi salah satu kalender
tahunan Kota Ambon. Semua elemen dalam wilayah Kota Ambon patut melakukan
introspeksi yang sejujur-jujurnya. Mengapa demikian? Karena semuanya memiliki andil
di sini.
Sebagai
Anggota Masyarakat
Apakah kita sudah melakukan bagian
kita? Harus diakui, masih ada yang memancing di air keruh. Masih ada anggota
masyarakat yang menganggap hujan deras sebagai truk sampah. Ketika air mengalir
deras di saluran-saluran got, mereka menganggap itu kesempatan untuk membuang
sampah tanpa harus melangkahkan kaki ke tempat pembuangan sampah yang telah
disediakan.
Pemandangan penumpang
angkutan-angkutan umum membuang sampah dari dalam angkutan masih jamak kita
temui. Bahkan saya sendiri pernah menyaksikan penumpang salah satu mobil dinas
(plat merah) melakukan hal yang sama. Para pejalan kaki yang membuang sampah ke
dalam got pun tidak sedikit. Mungkin saja para pelaku tindakan tersebut akan
berdalih, “Ah, itu kan hanya satu gelas plastik kecil!”, tapi pernahkan
membayangkan akumulasi dari tindakan tersebut?
Masih banyak warga masyarakat yang
membangun di pinggir-pinggir kali dan di lereng gunung tanpa memperhatikan
standar keamanan dan resiko yang mungkin timbul di kemudian hari. Tidak sedikit
rumah warga di pinggiran kali yang langsung menempel pada talut dan tidak
menyadari bahwa hal tersebut menambah beban talut. Ketika suatu waktu rumah
mereka menjadi korban banjir, mereka kemudian berteriak-teriak meminta
pertanggungjawaban Pemerintah Kota Ambon yang pada berbagai kesempatan dan
media sudah memberikan peringatan sebelumnya.
Sebagai
Pemerintah Kota Ambon
Saya bertanya-tanya di dalam hati,
apakah Pemerintah Kota Ambon memiliki informasi yang akurat tentang banjir dan
aneka keterkaitannya selama beberapa tahun terakhir ini serta menggunakannya
sebagai dasar perencanaan, monitoring, dan evaluasi program penanggulangan
banjir? Informasi tersebut seperti series data curah hujan; series data
ketinggian permukaan sungai khususnya di wilayah rawan banjir; series data
(perkiraan) volume sampah yang dibuang ke kali; ataupun pemetaan
bangunan-bangunan di wilayah rawan banjir dan rawan longsor yang ilegal dan
tidak memenuhi persyaratan. Informasi tersebut penting untuk melakukan tindakan
preventif.
Pemerintah Kota Ambon juga perlu
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pembangunan infrastruktur.
Misalnya yang saya lihat di wilayah tempat tinggal saya. Ketepatan saya
berdomisili di salah satu wilayah dekat aliran Kali Waetomu. Beberapa rumah di
wilayah tempat tinggal saya turut menjadi langganan banjir kala hujan deras
turun. Di satu sisi, setiap tahunnya Pemerintah Kota Ambon melakukan
revitalisasi jalan di depan rumah saya yang nota bene hanya jalan kecil
(mungkin berkelas jalan kabupaten) yang dalam pandangan saya masih layak
digunakan. Akan lebih baik jika Pemerintah Kota Ambon mengalihkan anggaran
revitalisasi jalan itu ke kegiatan revitalisasi (pendalaman) saluran got. Hal
itu akan jauh lebih efektif dan berdaya guna kala hujan deras tiba.
Pemerintah Kota Ambon harus berani
mengambil tindakan tegas terhadap masyarakat yang tinggal di daerah aliran
sungai sebagaimana yang dilakukan terhadap sebagian penduduk daerah Batu Gajah
yang tinggal di lereng gunung, tanpa harus menunggu terjadinya bencana. Sekali
lagi, Pemerintah Kota Ambon diharapkan lebih aktif melakukan tindakan
preventif. Mungkin perlu melakukan studi banding, tetapi tidak perlu juga sampai
berbondong-bondong jauh-jauh ke Negeri Belanda yang memang terkenal sebagai
pakar pengairan dan sebagai konsekuensinya memboroskan begitu banyak uang
rakyat. Kita bisa belajar dari kota-kota besar di Indonesia yang berhasil
mengurangi dampak bajir bukan, seperti Jakarta?
Saya tidak berniat mengukur dan
menimbang-nimbang porsi kesalahan di sini. Pada dasarnya semua elemen patut
melakukan introspeksi. Masyarakat membutuhkan program yang tepat dan pendampingan
aktif yang kontinyu dari Pemerintah Kota Ambon sebagaimana Pemerintah Kota
Ambon juga membutuhkan dukungan masyarakat untuk menyukseskan semua program
yang disiapkan. Akan tetapi kita perlu mengakui bahwa upaya yang dilakukan
semua elemen itu belum maksimal. Jika hal ini tidak diubah dari sekarang, maka
Pemerintah Kota Ambon harus mulai memikirkan perlunya memberikan semacam travel warning lewat website resmi-nya
tentang potensi banjir di Kota Ambon kala curah hujan tinggi.
Proses menuju Kota Ambon yang
lebih baik tentu memerlukan waktu dan komitmen bersama. Mari basudara warga Kota Ambon, katong mulai dar skarang.
Harian Ambon Ekspres edisi 19 Juli 2016
Komentar
Posting Komentar