Apa itu inflasi? Sebagian kecil lapisan masyarakat sangat familiar
dengan istilah ini, di saat sebagian besar tidak mengerti dan mungkin tidak
merasa perlu memahaminya. Praktisnya, inflasi adalah kenaikan harga, dimana
kebalikannya adalah deflasi (penurunan harga). Inflasi/deflasi di Indonesia
diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) sebagai instansi yang diberikan kewenangan untuk menghitungnya.
Data harga yang diperlukan untuk menghitung IHK diperoleh melalui pelaksanaan
Survei Harga Konsumen (SHK) yang dilakukan BPS setiap bulan.
Seyogyanya, pemantauan harga untuk penghitungan
inflasi/deflasi dilakukan terhadap semua jenis barang dan jasa yang dikonsumsi
oleh lebih dari 250 juta penduduk Indonesia. Namun jika demikian, tentu
membutuhkan waktu lama sampai kita bisa memperoleh suatu angka inflasi/deflasi.
Padahal perubahan harga barang yang dicerminkan oleh data inflasi/deflasi
merupakan indikator makro yang dibutuhkan secara berkala dan bahkan dirilis
oleh BPS setiap hari kerja pertama bulan berjalan. Inilah alasan perlunya
melakukan survei terhadap responden sampel dan komoditas sampel.
Di Indonesia sampai dengan saat ini, ada 82 kota
yang melakukan SHK. Dua dari 82 kota tersebut ada di Provinsi Maluku, yakni
Kota Ambon dan Kota Tual. Dasar pemilihan kota penghitungan inflasi adalah
ibukota provinsi dan kota yang menjadi barometer ekonomi bagi kabupaten-kabupaten
di sekitarnya. Kota-kota tersebut harus memenuhi syarat kontinuitas pencacahan
dan kelengkapan responden untuk monitoring harga seperti ketersediaan pasar,
sekolah, rumah sakit, bandara, pelabuhan, dealer motor/mobil, dan lainnya. Di
samping fakta bahwa biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit, ini sekaligus
menjawab pertanyaan yang umumnya beredar bahwa mengapa tidak semua kabupaten
menjadi sampel pelaksanaan SHK. Tetapi tidak juga berarti kabupaten lain tidak
bisa menghitung inflasi/deflasi-nya sendiri. Ada mekanisme yang telah
ditetapkan untuk penghitungan inflasi/deflasi kabupaten di luar 82 kota
tersebut.
SHK dilakukan setelah ke-82 kota memiliki paket
komoditasnya masing-masing. Paket komoditas adalah sekelompok barang dan jasa
yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat di suatu kota untuk periode tertentu. Paket
komoditas diperoleh dari Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan setiap 5-6
tahun, serentak di seluruh kota cakupan di Indonesia. SBH yang terakhir
dilaksanakan dan menjadi dasar penghitungan inflasi sampai saat ini adalah SBH
tahun 2012. SBH 2012 memberikan informasi bahwa ada lebih dari 1.600 komoditas
yang dikonsumsi masyarakat Kota Ambon dan lebih dari 1.400 komoditas yang
dikonsumsi masyarakat Kota Tual. Seperti disebutkan sebelumnya, seyogyanya
untuk mengukur inflasi di Kota Ambon, haruslah dilakukan pencacahan harga terhadap
ke-1.600-an komoditas di Kota Ambon dan 1.400-an komoditas di Kota Tual
tersebut. Namun atas nama efisiensi dan efektifitas, di sinilah perlunya
melakukan survei.
Dengan menggunakan mekanisme tertentu, lebih dari
1.600-an komoditas di Kota Ambon tersebut kemudian diringkas menjadi 368
komoditas dan untuk Kota Tual dari 1.400-an komoditas diringkas menjadi 263
komoditas. Terhadap 368 komoditas di Kota Ambon dan 263 komoditas di Kota Tual
inilah kemudian dilakukan SHK setiap bulan berjalan. Ada komoditas yang dicacah
setiap minggu, ada yang 2 minggu-an, dan selebihnya dicacah bulanan. Secara
umum, setiap komoditas memiliki cakupan setidaknya 2 merk yang dicacah harganya
untuk mewakili sekian banyak merk yang dikonsumsi seluruh masyarakat di suatu
kota. Sebagai contoh, untuk komoditas Susu Kental Manis, merk yang dicakup
antara lain Cap Nona, Omela, dan Carnation. Contoh lainnya, untuk komoditas
uang sekolah SMA, setiap bulannya dilakukan pengecekan biaya yang harus dikeluarkan
oleh murid-murid pada beberapa sampel SMA. Pemilihan sekolah di sini (juga
berlaku untuk SD, SMP, dan Perguruan Tinggi) didasarkan pada jumlah siswa/mahasiswa.
Sekolah/perguruan tinggi yang terpilih menjadi sampel seyogyanya memiliki lebih
banyak siswa/mahasiswa dibandingkan sekolah/perguruan tinggi lain yang tidak
terpilih sebagai sampel. Tujuannya adalah agar data yang dihasilkan lebih
menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Praktisnya, SHK untuk menghitung inflasi bisa
dilakukan setelah paket komoditas beserta besaran nilai konsumsi dari
masing-masing komoditas di dalam paket komoditas tersebut tersedia. Tentang paket
komoditas telah dijelaskan sebelumnya. Namun tentang nilai konsumsi, apakah
itu? Nilai konsumsi adalah besaran biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk
mengkonsumsi suatu komoditas dalam satu bulan. Komoditas dengan nilai konsumsi
yang besar, akan lebih mempengaruhi inflasi/deflasi dibandingkan komoditas
dengan nilai konsumsi yang relatif kecil. Sebagai contoh, beras karena
sehari-harinya dikonsumsi masyarakat, akan memiliki nilai konsumsi lebih besar
dibandingkan sabun mandi. Dengan demikian, jika terjadi kenaikan harga beras,
secara langsung berpotensi memicu inflasi dibandingkan kenaikan harga sabun
mandi. Proporsi nilai konsumsi dari masing-masing komoditas dalam suatu paket
komoditas juga menjadi informasi yang sangat penting bagi upaya pengendalian
inflasi di suatu daerah, karena program pengendalian bisa lebih difokuskan pada
komoditas-komoditas strategis.
Mengapa inflasi menjadi penting untuk diurus dan
bahkan dikendalikan? Jawaban sederhananya adalah karena kenaikan harga
berkaitan erat dengan tingkat daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Bagi
masyarakat yang berpendapatan tetap, seperti PNS, daya belinya secara langsung dipengaruhi
oleh inflasi. Kenaikan harga yang tidak serta merta disertai dengan kenaikan
pendapatan membuat masyarakat harus mengatur ulang perencanaan keuangan mereka
dan bukan tidak mungkin membatasi pengeluaran mereka. Bagi masyarakat yang
hidupnya pas-pasan, ketika inflasi terjadi terus-menerus, bisa berpotensi
menjadi miskin dikarenakan kemampuan untuk membeli barang kebutuhan hidup
menurun.
Rangkaian pembentukan inflasi yang sangat penting
bagi perencanaan pembangunan regional maupun nasional dan yang tanpa disadari
secara langsung bersentuhan dengan keseharian seluruh lapisan masyarakat,
dimulai dari pelaksanaan SBH. Saat ini BPS di seluruh Indonesia berada dalam
tahap persiapan pelaksanaan SBH 2018 untuk memperbarui paket komoditas yang
dihasilkan oleh SBH 2012. Di bulan Desember 2017 ini, petugas kami sedang
melakukan pemutakhiran rumah tangga sebagai prasyarat pengambilan sampel untuk
pelaksanaan pencacahan. SBH 2018 dilakukan terhadap 82 kota ditambah 8 kota
baru lainnya sehingga total jumlah kota yang menyelenggarakan SBH 2018 menjadi
90 kota. Jumlah responsen SBH 2018 di Kota Ambon sebanyak 1.600 rumah tangga
dan di Kota Tual sebanyak 1.200 rumah tangga akan dikunjungi sepanjang periode
Januari – Desember 2018. Setiap rumah tangga akan dikunjungi petugas survei
selama 3 bulan untuk menanyakan pengeluaran dan pendapatan rumah tangga selama
periode 3 bulan tersebut.
BPS Republik Indonesia dan seluruh jajarannya di
daerah telah memperoleh dukungan dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun tidak
kalah pentingnya, kami juga membutuhkan dukungan dari masyarakat dengan
menerima petugas kami dan memberikan data yang benar. Jangan takut dan jangan
ragu. Apa yang disampaikan masyarakat merupakan kerahasiaan yang dilindungi
oleh Undang-Undang nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik.
Dari pantauan di lapangan, salah satu dasar
keengganan masyarakat menerima petugas SBH dan memberikan data yang benar
adalah adanya stigma bahwa BPS yang bertanggung jawab atas program-program
pemberian bantuan dari Pemerintah yang menurut sebagian masyarakat tidak tepat
sasaran. Melalui kesempatan ini kami ingin meluruskan pandangan yang keliru
tersebut. Dalam pendataan yang berujung pemberian bantuan, kapasitas BPS adalah
melakukan pendataan dan kemudian menyerahkan data hasil pendataan tersebut kepada
Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melalui Kementerian terkait kemudian
menggunakan data tersebut sesuai keperluan dan alokasi dana yang ada pada
masing-masing Kementerian. Sampai di sini, BPS tidak memiliki kewenangan
apa-apa lagi. Sehingga jika ada keberatan-keberatan terhadap implementasi
program baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah, bisa dikomunikasikan kepada
pihak terkait. Sangat disayangkan jika keberatan-keberatan tersebut diekspresikan
dengan tidak mau menerima petugas BPS ataupun dengan memberikan data yang
asal-asalan, karena pada akhirnya data yang dihasilkan menjadi tidak akurat dan
perencanaan pembangunan menjadi tidak terarah.
Data yang dikumpulkan melalui SBH 2018 akan
digunakan selama kurang lebih 5 tahun sebagai dasar penghitungan inflasi di
Indonesia, termasuk di Kota Ambon dan Kota Tual. Sekali data terkumpul dan
diolah menjadi suatu paket komoditas beserta nilai konsumsinya, BPS tidak akan bisa
mengutak-atik komposisi yang terbentuk. Untuk itu, dukungan semua pihak demi
suksesnya pelaksanaan Survei Biaya Hidup 2018 sangatlah penting. Seluruh
jajaran BPS berusaha melakukan bagiannya dengan bekerja sesuai kaidah dan
aturan yang baku. Jika para pemangku kepentingan dan masyarakat turut melakukan
bagiannya dengan baik, niscaya terwujudnya Maluku dan Indonesia yang lebih baik
bukan sekedar slogan belaka. Sukses SBH 2018!
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi 8 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar