Untuk pertama kalinya saya sengaja menggunakan akronim sebagai judul
opini, dengan mengutip satu dari lima garis-garis besar isi buku The Leadership Challenge yang ditulis
oleh James Kouzes dan Barry Posner. Alkisah, buku yang dirilis sejak tahun 1987
tersebut dan sudah mencapai edisi kelima-nya merupakan salah satu buku tentang
kepemimpinan yang paling laris manis terjual.
DWYSYWD adalah singkatan dari Do What You Say You Will Do yang bila diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia – menurut hemat saya – terwakilkan oleh satu kata,
yakni INTEGRITAS. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang saya buka secara online, integritas adalah mutu,
sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Bila diterjemahkan
ke dalam bahasa sehari-hari, sederhananya, integritas adalah satunya kata dan
perbuatan. Lawan dari integritas adalah – ijinkan saya menggunakan bahasa Ambon
sehari-hari di sini – bilang laeng biking
laeng.
Saat ini
integritas menjadi kata yang banyak digunakan oleh instansi Pemerintah sebagai
salah satu nilai inti (core value)
yang diharapkan menggambarkan budaya yang ada di instansi tersebut. Banyak juga
institusi dan organisasi yang sekalipun tidak mencantumkannya secara eksplisit,
telah menjadikan integritas sebagai budaya organisasi. Pertanyaan yang mungkin
muncul adalah apakah itu berarti semua anggota instansi/institusi/organisasi
tersebut sudah memiliki integritas? Saya tidak mengetahui jawaban persisnya,
tetapi di sini saya hanya ingin mengemukakan beberapa fakta untuk menjadi
perenungan kita bersama.
Pada suatu
kesempatan saya pernah melihat seorang bapak berpakaian selayaknya anggota
Polri menyeberangi jalan bukan pada tempat penyeberangan yang telah disediakan
yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat beliau berdiri. Dari pakaian
yang beliau gunakan, jika benar beliau adalah seorang anggota Polri, saya
sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan di saat Polri gencar memberikan
sosialisasi kepada masyarakat agar mematuhi rambu-rambu lalu lintas, termasuk menyeberang
pada tempat yang telah disediakan.
Di lain
kesempatan ketika berkendara di belakang sebuah mobil plat merah, tiba-tiba ada
penumpang dari dalam mobil tersebut yang membuang sampah keluar jendela mobil.
Saya menyesal terlambat mengambil foto kejadian tersebut, karena saya sangat
ingin mem-posting kejadian beserta
plat nomor mobil tersebut melalui media sosial agar bisa memberikan efek jera.
Pada instansi Pemerintah manapun penumpang mobil tersebut bekerja, intinya
adalah jika aparatur sipil negara (ASN) yang seharusnya menjadi contoh tidak
melakukan apa yang sepatutnya, mau dibawa kemana kota/provinsi/negara ini?
Belajar dari dua
pengalaman saya tersebut, saya kemudian berpikir, apa yang salah? Saya
menemukan ada beberapa hal yang mungkin menjadi pemicunya. Pertama, kurangnya teladan. Himbauan atau
instruksi atau ajaran yang diberikan tidak dilakukan oleh mereka yang
memberikan himbauan atau instruksi atau ajaran tersebut. Contoh yang pertama
adalah seorang bapak yang berpakaian selayaknya anggota Polri yang saya
ceritakan sebelumnya. Selain itu kurangnya teladan ini turut ditunjukkan oleh Bapak/Ibu
yang berprofesi sebagai guru. Dalam perjalanan ke kantor, sehari-harinya saya
melewati kompleks persekolahan di Lateri. Setiap pagi saya menyaksikan guru dan
murid sama-sama menyeberang pada tempat yang hanya berjarak beberapa meter dari
tempat penyeberangan yang disediakan. Padahal saya percaya, menaati rambu-rambu
lalu lintas adalah bagian dari pelajaran yang diberikan oleh seorang guru dan
yang diterima oleh seorang murid di sekolah.
Pemicu kedua dari kurangnya integritas adalah pembiaran. Masih dengan kasus guru dan
murid menyeberangi jalan bukan pada tempat yang disediakan, biasanya di pagi
hari ada anggota Polri yang berjaga-jaga di depan kompleks sekolah. (Para) Anggota
Polri ini, dari pengamatan saya, tidak serta-merta mengarahkan mereka untuk
menyeberang pada tempatnya. Jika hal ini terus berlangsung dalam waktu yang
lama, murid dan guru yang nota bene adalah anggota masyarakat akan memiliki
pemikiran bahwa apa yang dihimbau tidak harus dilaksanakan. Dan jika pemikiran
ini kemudian menjadi karakter, jangan heran melihat ada begitu banyak anggota
masyarakat Kota Ambon yang “kurang tahu aturan”. Lalu bagaimana nasibnya semua
peraturan yang dibuat Pemerintah untuk memastikan terciptanya ketertiban dan
keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Sayang
sekali jika promosi yang Pemerintah Kota Ambon dan Provinsi Maluku gencar
lakukan untuk menarik banyak wisatawan datang ke sini termasuk untuk melihat
ketidakteraturan itu.
Hal ketiga yang
berpotensi memicu kurangnya integritas adalah kurangnya monitoring. Masih dengan menggunakan kawasan pendidikan
di Lateri sebagai contoh, tentu kita ketahui bersama di situ juga terletak
Kantor Dinas Pendidikan Kota Ambon. Seyogyanya, dengan berlokasinya Dinas
Pendidikan Kota Ambon di dekat beberapa sekolah di Lateri, sekolah-sekolah
tersebut menjadi kawasan percontohan bagi dunia pendidikan di Kota Ambon.
Tetapi untuk kasus yang saya kemukakan sebelumnya, sepertinya pengawasan yang
dilakukan belum optimal. Ini sekaligus menjadi masukan saya sebagai warga Kota
Ambon kepada Bapak Walikota Ambon yang terhormat.
Mungkin ada di
antara pembaca yang membatin, mengapa kesadaran masyarakat tidak disebutkan?
Saya setuju kesadaran pribadi dari
anggota masyarakat turut menjadi pemicu kurangnya integritas. Saya sengaja
menyebutkannya terakhir karena menurut hemat saya, kesadaran pribadi ini erat
kaitannya dengan keteladanan yang ditunjukkan. Dengan asumsi sebagian besar
anggota masyarakat belum memiliki integitas yang mapan, maka hanya sedikit yang
memiliki kesadaran diri. Sebagian besar ini masih membutuhkan bimbingan, alias
membutuhkan contoh dan teladan dari mereka yang dianggap lebih tua, lebih
dewasa, dan lebih tinggi (jabatan/kedudukan).
Bapak/Ibu dengan
posisi dan jabatan strategis memiliki kontribusi paling dominan untuk membangun
dan meningkatkan integritas anggota masyarakat. Posisi dan jabatan strategis di
sini tidak hanya berbicara mengenai hirarki di kantor pemerintahan ataupun
organisasi secara umum, melainkan juga menunjuk pada mereka dalam posisi yang
dituakan dan dihormati, mulai dari dalam keluarga. Orang tua memiliki peran yang sangat penting karena keluarga
menjadi basis tumbuh-kembang seorang individu. Jika sebagai orang tua, pola
yang dilakukan saat berkendara bersama anak-anak adalah sering membuang sampah
begitu saja dari dalam/atas kendaraan, jangan marahi anak-anak kita ketika
mereka tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu. Contoh lainnya, ketika anak
mempunyai tugas sekolah yang harus dibuatnya sendiri, tetapi atas nama kasih
sayang orang tualah yang mengerjakannya dan mencantumkan nama anak di tugas
tersebut. Jika kita adalah jenis orang tua seperti itu, jangan pernah bermimpi
anak-anak kita akan menjadi pribadi yang memiliki integritas di kemudian hari.
Para pimpinan lembaga
eksekutif/yudikatif/legislatif, amanah yang dipercayakan ke pundak Bapak/Ibu
adalah untuk memastikan semua pelaksanaan pemerintahan berlangsung sesuai
tatanan yang seharusnya. Ketika terjadi hal di luar yang seharusnya dan
sepatutnya, bereaksilah. Dengan melakukan hal tersebut, Bapak/Ibu sedang meneladankan
integritas dan menyiapkan calon-calon pemimpin tangguh berikutnya. Toh
Bapak/Ibu tidak akan selamanya menjadi seorang pimpinan pada institusi tersebut
bukan? Sejatinya, pemimpin yang luar biasa bukanlah seseorang yang mempunyai
banyak pengikut, melainkan seseorang yang berhasil mengkaderkan dan membentuk
pemimpin tangguh berikutnya.
Mengingat negara
kita meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila dan
bahwa hampir semua kita adalah orang beragama, maka tidak kalah pentingnya di
sini adalah peranan pimpinan umat beragama.
Bapak/Ibu yang dipercayakan menjadi pemimpin dalam suatu struktur organisasi
keagamaan patut memahami bahwa dalam pandangan masyarakat secara umum dan
organisasinya secara khusus, Bapak/Ibu seyogyanya menjadi orang yang paling
berintegritas. Berhati-hatilah. Lakukanlah apa yang Bapak/Ibu katakan. Jika
Bapak/Ibu mengajarkan untuk mengasihi, kasihilah orang lain apapun latar
belakangnya. Jika Bapak/Ibu mengajarkan untuk mengampuni sesama seperti kitapun
diampuni oleh Yang Kuasa, janganlah menyimpan dendam. Jika pada suatu saat
kedapatan Bapak/Ibu tidak melakukan apa yang diajarkan, pola pikir yang akan
terbentuk dalam masyarakat dan anggota organisasi yang dipimpin adalah tidak
mengapa mengatakan A namun kemudian melakukan B. Toh pemimpin kita, Bapak anu
atau Ibu anu juga melakukan seperti itu.
Integritas tidak muncul dalam semalam. Saya sering
mengatakan kepada keluarga saya, jauh lebih mudah mendirikan bangunan 20 lantai
dibandingkan membangun karakter. Pasti akan ada jatuh-bangunnya – ups and downs. Teruslah belajar.
Keluarga kita membutuhkan orang-orang yang berintegritas. Lingkungan kita
membutuhkan orang-orang yang berintegritas. Umat kita membutuhkan orang-orang
yang berintegritas. Kota, provinsi, dan negara kita membutuhkan orang-orang
yang berintegritas. Orang-orang berintegritas itu adalah Anda dan saya. Salam
integritas dari Kawasan Mardika, Kota Ambon!
Dimuat pada Harian Ambon Ekspres edisi Selasa, 16 Januari 2018
Hi kak, kenalkan namaku yulia. Aku ada renc mei ini mau ke maluku (sdh pegang tiket pp) kebetulan nemu blog ini. Bolehkah aku tanya2 lbh detil? Klo boleh jg bs minta email atau no. Wa nya.
BalasHapusEmail aku di yargentin@gmail.com
Wa 08563008915.
Makasih ya