Luar Biasa Namun Tetap Biasa


Tulisan ini terinspirasi oleh salah satu artikel yang saya baca secara online pada laman situs The New York Times, tentang Ingvar Kamprad pendiri jaringan toko Ikea yang tutup usia pada Minggu, 28 Januari 2018. Ijinkan saya mengutip beberapa fakta tentang beliau yang patut menjadi perenungan kita bersama.
Ingvar Kamprad – orang terkaya ke-8 di dunia versi Bloomberg Billionaires Index – menggunakan kelas ekonomi ketika terbang dengan pesawat, tinggal di hotel murah, makan makanan yang murah, dan selalu menawar ketika berbelanja. Pola menggunakan kelas ekonomi setiap kali terbang dengan pesawat juga diikuti oleh para eksekutif Ikea. Ingvar Kamprad secara rutin mengunjungi jaringan toko Ikea di seluruh dunia. Kadang ia berlaku seolah-seolah pembeli dan bertanya tentang ini-itu ke karyawan Ikea dan sebaliknya ia juga bisa berlaku seolah-olah ia adalah karyawan yang melayani pembeli. Pada tahun 1994, terungkap bahwa Kamprad pernah tergabung dalam gerakan fasisme. Dengan rendah hati ia mengakuinya. Dalam pesan kepada para pekerjanya, ia mengatakan hal tersebut adalah “bagian hidup yang sangat disesalinya” dan “kesalahan paling bodoh dalam hidupku”. Dalam wawancara dengan Forbes di tahun 2000, Kamprad mengatakan, “Saya memandang pekerjaan saya sebagai cara untuk melayani banyak orang. Pertanyaannya adalah bagaimana mengetahui apa yang mereka inginkan dan bagaimana melayani mereka sebaik mungkin. Dan jawabannya adalah tetap menjadi dekat dengan orang-orang biasa karena sejatinya saya adalah salah seorang dari mereka.”
                Normalnya, gaya hidup kita linier dengan (mengikuti) penghasilan kita. Jika sebelumnya kita mengkonsumsi beras kualitas medium, maka ketika penghasilan atau jabatan meningkat, kita cenderung akan mengkonsumsi beras kualitas premium. Jika sebelumnya kita mengendarai kendaraan keluaran tahun 2000-an, namun atas nama status dan gengsi yang meningkat, kita kemudian beralih ke kendaraan keluaran terbaru padahal mungkin saja kendaraan yang lama masih layak digunakan. Saya yakin, sampai di sini akan ada yang berkomentar, “Apa yang salah dengan itu?” Benar, tidak ada yang salah dengan gaya hidup seperti itu. Tetapi atas nama kemanusiaan, apakah hati kecil kita sendiri menikmati semua hal tersebut di saat mungkin saudara dan tetangga kita masih ada yang bergelut dengan kebutuhan dasar setiap harinya?
                Konsumerisme dan hedonisme saat ini secara nyata telah menjadi gaya hidup banyak orang, khususnya mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat. Dan hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Kedua pandangan tersebut menjadi pemicu munculnya persaingan tidak sehat di dalam masyarakat. Jika si A terlihat menggunakan gadget model terbaru, maka sangat mungkin teman sekolahnya atau teman kuliahnya atau teman kerjanya atau tetangganya juga ingin memiliki barang yang sama. Jika mereka memiliki penghasilan yang memadai untuk itu, tidak mengapa. Namun jika tidak demikian, tentu akan menjadi masalah.
                Kesempatan emas untuk menunjukkan seperti apa seseorang yang luar biasa bisa tetap menjadi pribadi yang biasa dimulai dari dalam keluarga. Orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan dasar pemahaman sekaligus teladan. Salah satu kata bijak berbunyi, “Ibu adalah guru pertama setiap anak, ayah adalah guru keduanya”. Wahai para orang tua, gunakanlah kesempatan ini sebaik dan sedini mungkin. Tunjukkanlah gaya hidup sederhana, sehebat apapun Anda di lingkungan pekerjaan. Jangan memberikan kesan bahwa Anda adalah seorang yang hebat secara materiil. Akan berbahaya jika anak sampai memiliki pemahaman bahwa orang tuanya adalah seorang yang memiliki banyak uang dan segala keinginannya mudah dipenuhi. Implikasinya adalah anak akan bertumbuh menjadi individu yang instant, kurang memiliki fighting spirit, dan kurang memiliki empati dengan sesama. Saya mengenal baik seseorang yang secara ekonomi sangat mapan namun ketika tempat pensil anaknya robek dan masih bisa diperbaiki, ia memilih untuk menjahitnya daripada membeli yang baru. Pada kesempatan lain, ketika ada orang yang berkekurangan dan membutuhkan bantuan, sahabat saya tersebut akan segera merespons dengan cepat. Saya percaya, hal-hal tersebut menjadi pembelajaran berharga yang akan membentuk anak-anaknya menjadi pribadi yang luar biasa namun tetap biasa, sebagaimana yang mereka saksikan dalam keseharian keluarganya.
                Dalam ruang lingkup yang lebih luas dan formal, para pemimpin baik itu pimpinan lembaga eksekutif/yudikatif/legislatif maupun pimpinan di dunia usaha, secara langsung dan efektif akan menjadi contoh bagi mereka yang dipimpinnya. Bahwa semakin tinggi jabatan, semakin berkelas pula kendaraan dinas yang menjadi fasilitas, saya tidak akan mengkritisinya. Namun dalam keseharian, bersikaplah apa adanya. Tanpa menggunakan barang-barang terbaru dan bermerek, orang pun tahu siapa Anda. “Kelas” Anda tidak akan turun jika Anda tampil sederhana. Justru dengan bersikap demikian Anda sedang memberikan pembelajaran dan penguatan kepada orang-orang di sekeliling Anda, bagaimana menjadi orang yang rendah hati serta tidak menjadi pemicu munculnya persaingan yang tidak sehat. Orang-orang di sekeliling, secara khusus para bawahan akan mulai meneladani gaya hidup Anda. Menurut hemat saya, hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung, memberikan kontribusi positif bagi penggunaan wewenang dan anggaran yang tertanggung jawab.
                Secara khusus bagi para pimpinan lembaga eksekutif/yudikatif/legislatif, saya ingin mengusulkan adanya gerakan menggunakan angkutan umum sehari dalam setiap bulan berjalan. Ada banyak kebaikan yang akan diperoleh dengan melakukan hal tersebut. Pertama, Anda memberikan teladan untuk bagaimana berkontribusi mengurangi kemacetan dan menghemat bahan bakar. Kedua, Anda memiliki waktu dalam perjalanan untuk berinteraksi dengan masyarakat dan dengan demikian bisa memperoleh banyak masukan yang positif bagi peningkatan kualitas pelaksanaan pemerintahan. Ketiga, Anda akan melihat secara langsung implementasi dari peraturan yang ditetapkan dan jika beruntung, Anda bisa menyaksikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Keempat, Anda akan lebih memiliki empati dengan bawahan Anda yang dalam kesehariannya menggunakan angkutan umum.
                Bagi Bapak/Ibu yang dipercayakan menjadi pemimpin dalam suatu struktur organisasi keagamaan, saya yakin kesederhanaan menjadi salah satu ajaran yang terus-menerus didengungkan kepada umat. Ajaran tersebut akan lebih meresap dan dipraktikkan oleh umat, jika Bapak/Ibu turut menjadi role model di sini. Hal ini tidak berarti Bapak/Ibu tidak boleh memiliki dan menggunakan barang bermerek, secara saya mengerti mungkin juga Bapak/Ibu memilikinya sebagai pemberian dari umat. Akan tetapi bijaksanalah menggunakannya. Bagi saya, para pemimpin umat menjadi filter terakhir di sini. Jika dalam kesehariannya, umat menghadapi situasi penuh persaingan yang tidak sehat akibat gaya hidup konsumerisme dan hedonisme di lingkungan tempat tinggal, pergaulan, serta pekerjaannya, namun kemudian melihat kesederhanaan hidup yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin umat, hal tersebut akan menjadi penyejuk dan penyemangat baginya untuk tetap belajar mensyukuri hidup apa adanya.
                Bagaimana jika kita memiliki makin banyak uang dan bingung bagaimana mengelola dan menggunakannya? Mari belajar dari Warren Buffett, orang terkaya nomor 2 di dunia versi majalah Forbes. Pada tahun 2006, Warren Buffett mengumumkan bahwa ia akan menyumbangkan sebagian besar kekayaannya, dan kemudian terbukti ia tidak berbasa-basi dengan kata-katanya. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tercatat Warren Buffett telah menyumbangkan lebih dari 70 persen kekayaannya untuk kegiatan amal. Bagaimana dengan kita? Dari sekian banyak rupiah yang kita miliki, berapa persen yang telah kita bagikan dengan mereka yang membutuhkan?
Jika setiap orang sesuai porsinya masing-masing secara konsisten menerapkan gaya hidup sederhana, menurut hemat saya ini bisa menjadi salah satu solusi mengatasi ketimpangan dan kecemburuan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bukan tidak mungkin hal tersebut juga turut memberikan kontribusi positif bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang terus menjadi salah satu fokus utama Pemerintah saat ini. Mulailah melakukannya terhadap orang-orang terdekat kita: di lingkungan tempat tinggal, kantor, ataupun tempat usaha. Tidak perlu menunggu sampai kita menjadi orang-orang hebat seperti Ingvar Kamprad ataupun Warren Buffett. Mulailah berlatih dari diri kita yang sekarang ini. Niscaya ketika menjadi seseorang yang luar biasa, kita sudah terbiasa untuk menjadi apa adanya.

Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi Rabu, 31 Januari 2018

Komentar