Judul artikel ini tentunya
mengundang aneka reaksi ketika pertama kali dibaca. Siapa itu yang ingin mengalami
kesusahan dalam hidup?! Namun sayangnya, masalah adalah partner setia kita
dalam berbagai konteks dan bentuk selama raga ini masih bernyawa. Saya pikir
ini juga yang melatarbelakangi Pemerintah membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) di level pusat dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) pada level provinsi dan kabupaten/kota dengan salah satu tugas
untuk memberikan pedoman dan
pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi
secara adil dan setara.
Ketika virus
corona atau yang oleh badan kesehatan dunia (WHO) diberikan nama resmi Covid-19
pertama kali merebak di daratan Tiongkok pada Desember 2019 dan yang kemudian menjangkiti
negara-negara lain, sedikit banyaknya kita merasa bahwa itu masalah mereka di
negara 4 musim – mengingat iklim di negara-negara yang dilanda wabah corona kala
itu adalah musim dingin. Mungkin tidak sedikit pun terbersit pemikiran bahwa
suatu saat, ”tamu tak diundang” tersebut akhirnya datang juga. Dan saat mimpi
buruk itu menjadi kenyataan, kita seakan tersentak dari tidur.
Bukan tidak
mungkin, kita yang hidup di Maluku masih juga berpikir, “Oooh, virus itu sudah
ada di Indonesia, tapi sepertinya sulit menginfeksi penduduk Maluku, mengingat
kita sedang mengalami musim panas”. Tentang hal tersebut, menurut pendapat
beberapa ahli, Covid-19 belum bisa dipastikan akan berkurang di musim panas.
Wajar sih ya, secara ini jenis virus yang baru berkembang beberapa bulan
terakhir ini dan belum dipahami karakteristiknya secara detil.
Mari
mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan seandainya pada suatu waktu, kita di wilayah
bumi raja-raja ini terkondisi untuk mau tidak mau, menerima kedatangan virus
corona. Apa tindakan preventif yang sudah kita siapkan? Sosialisasi. Ini baik
dan memang sudah dilakukan oleh Pemerintah lewat baliho-baliho, siaran radio,
maupun juga pengumuman yang disampaikan melalui pengeras suara di beberapa
titik lampu merah di Kota Ambon. Saya ingat benar, salah satu butir sosialisasi
tersebut adalah terkait mencuci tangan dengan air bersih. Spontan muncul
pertanyaan di benak saya, apakah semua warga Maluku sudah memiliki akses
memadai untuk air bersih?
Data jumlah
rumah tangga di Kota Ambon tahun 2015 (hasil proyeksi BPS RI) adalah 91.117
rumah tangga dengan 85.347 rumah tangga di antaranya berdiam di daerah
perkotaan. Di satu sisi, data jumlah pelanggan air bersih dari PDAM Kota Ambon tahun
2019 sebagaimana dimuat di dalam publikasi Kota Ambon Dalam Angka 2020 adalah
sebanyak 12.331 pelanggan. Jika pelanggan di sini diidentikkan dengan rumah
tangga dan bahwa jumlah rumah tangga tahun 2015 diasumsikan tidak mengalami
perubahan sampai tahun 2020, maka dapat dikatakan baru sekitar 14,45 persen rumah
tangga di wilayah perkotaan di Kota Ambon yang memiliki akses ke fasilitas air
bersih.
Tentu ada juga masyarakat yang secara
swadaya memenuhi keperluan akan air bersih dengan berbagai alternatif lain
seperti sumur bor ataupun membeli air bersih dari mobil tangki, namun yang perlu
mendapat perhatian adalah kelompok masyarakat yang masih bergumul dengan
ketersediaan air bersih sehari-harinya. Sedemikian hingga himbauan Pemerintah
agar masyarakat mencuci tangan dengan air bersih secara berkala, patut disertai
dengan data yang valid tentang wilayah-wilayah di kabupaten/kota masing-masing
yang membutuhkan supply air bersih serta skenario bagaimana menyiasatinya.
Senada dengan tantangan bagi Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan penduduk
akan air bersih adalah ketersediaan masker dan cairan pembersih tangan (hand
sanitizer).
Salah satu fenomena yang terjadi di
berbagai belahan dunia ketika wilayah mereka dinyatakan memiliki kasus corona
adalah panic buying alias tindakan membeli barang dalam jumlah banyak
yang dipicu oleh ketakutan akan kemungkinan kelangkaan stok ataupun kenaikan
harga dari suatu komoditi tertentu. Negara-negara maju pun mengalami ini. Saya kemudian
membayangkan, jika suatu saat nanti diberitakan ada satu pasien terindikasi
terinfeksi Covid-19 di Maluku, bukan tidak mungkin hal ini pun akan terjadi.
Bagi penduduk dengan kelompok pendapatan menengah ke atas, ini bukan perkara yang
sulit. Tapi bagaimana dengan mereka yang hanya bisa mengusahakan makan untuk
hari ini dan besok lihat bagaimana nanti? Bahwa virus corona menjadi satu lagi
faktor yang berpotensi menarik semakin banyak penduduk ke bawah garis
kemiskinan, membutuhkan pembahasan tersendiri.
Masyarakat Maluku sudah melewati banyak
fase “penderitaan” sepanjang 2 dekade terakhir ini. Sebut saja konflik sosial,
banjir, dan yang masih hangat adalah ribuan kali gempa pada caturwulan terakhir
tahun 2019 yang lalu. Sangat mungkin, perilaku tanggap bencana (dengan aneka
level kualitasnya) sudah mendarah daging dalam diri masyarakat bumi seribu
pulau ini. Akan tetapi virus corona adalah suatu bab baru. Standar prosedur yang
diterapkan tentu berbeda karena objek yang dihadapi bukanlah sesuatu secara fisik
nyata terlihat.
Menurut hemat saya, Pemerintah perlu
memetakan stok barang makanan khususnya yang tahan lama, yang biasanya menjadi
sasaran aksi “panic buying”. Jumlah stok dari level distributor sampai dengan
pengecer harus tersedia dan dipantau terus-menerus. Jika mulai terdeteksi
geliat peningkatan jumlah pembelian dibandingkan biasanya, Pemerintah perlu
segera mengambil langkah proaktif. Saya paham bahwa mungkin kita masih jauh
dari mekanisme yang diterapkan Pemerintah Korea Selatan ketika terjadi
kelangkaan masker, yaitu dengan memberlakukan penyesuaian angka terakhir tahun
lahir dengan hari tertentu untuk membeli masker yang jumlahnya pun dibatasi per
orang. Tapi mari menuju ke situ.
Seyogyanya hasil Sensus Penduduk 2020 yang
sedang dalam tahapan pelaksanaan pendataan secara online sampai dengan 31 Maret
2020 ini, akan berguna dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan yang
lebih sistematis seperti apa yang diterapkan di Korea Selatan. Namun bukan
berarti kita tidak bisa memulainya sekarang ini. Hal ini bukan semata-mata terkait
penanggulangan virus corona, namun pematangan suatu sistem pelayanan yang lebih
berkeadilan dan merata dalam situasi apapun. Saya mengambil Kota Ambon sebagai
contoh di sini.
Pemerintah Kota Ambon perlu sejak sekarang
memetakan kepadatan penduduk per wilayah dalam kaitannya dengan lokasi pedagang
di sekitar wilayah tersebut, serta kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat (khususnya
untuk barang tahan lama). Perlu dipastikan, jumlah pedagang per wilayah akan
mampu melayani kebutuhan masyarakat sekitar dengan Pemerintah sebagai pihak
yang bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan stok barang yang
dilaporkan dan dipantau secara online.
Jika kita tak terhindarkan harus mengalami
situasi dimana masyarakat terpicu untuk memenuhi kebutuhannya (akan barang
tahan lama) dengan cara-cara yang tidak biasanya, hal ini bisa diredam dengan
membatasi ruang gerak pembeli maupun penjual. Misal, penduduk Kelurahan Rijali
tidak diperbolehkan membeli barang kebutuhan pokok di luar wilayah kelurahannya.
KTP setiap penduduk akan berfungsi sebagai kode akses dan hanya bisa digunakan sekali
dalam seminggu. Bagaimana memantaunya? Pemerintah Kota bisa mulai membangun aplikasi
sistemnya sejak sekarang dan kemudian dibantu oleh TNI/Polri untuk bersama-sama
dengan Polisi Pamong Praja menjadi wasitnya di sini.
Saya sendiri ketika membaca lagi tulisan
ini, sesaat merasakan suatu keraguan, apakah kita benar-benar membutuhkan
sistem seperti ini? Kalau melihat ke sekeliling, rasanya semuanya masih
baik-baik saja. Akan tetapi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pemerintahan serta terjaganya tatanan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dalam
setiap situasi dan kondisi, Pemerintah perlu menyiapkan aneka skenario,
terutama untuk keadaan darurat yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat.
Beberapa bulan lalu, kita tidak pernah
menyangka bahwa dunia akan masuk dalam suatu era wabah seperti ini, bukan?
Namun toh kita mengalaminya. Dan ketika hal yang tidak terduga ini terjadi, dia
bisa mengambil alih perhatian dan bahkan porsi pembiayaan yang sebelumnya
disediakan untuk proyek “normal” lainnya. Kita menyaksikan sendiri banyak event
dan laga di berbagai belahan dunia yang terpaksa ditunda atau dilaksanakan tidak
sesuai konsep awalnya, hanya karena penyebaran Covid-19 yang di luar dugaan dan
rencana. Jadi, mari siap payung sebelum hujan. Karena mencegah itu jauh lebih
baik dan lebih efektif dibandingkan mengobati.
Dimuat di Harian Ambon Ekspres edisi 16 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar