What's Next?


Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) – Antonio Guterres dalam salah satu media online menyatakan bahwa pendapatan perkapita dunia sedang mengalami penurunan tajam sejak 1870 dan bahwa sekitar 70 – 100 juta penduduk terancam jatuh dalam jurang kemiskinan ekstrim. Diprediksi sampai dengan akhir 2020, sekitar 265 juta orang rentan mengalami krisis pangan. Pernyataan lainnya dari Guterres, masih tentang efek dari coronavirus pandemic adalah, kemungkinan dunia mengalami kemunduran bertahun-tahun dan bahkan dasawarsa terkait pembangunan ekonominya.

Negara tetangga kita dan juga salah satu mitra bisnis yang sangat strategis, Singapura, yang merupakan salah satu negara yang pertama merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2020, mengumumkan ekonomi minus 41,2 persen pada kuartal II tahun 2020. Sedemikian hingga Singapura dinyatakan resmi mengalami resesi, hal mana sedikit-banyaknya akan berdampak juga pada ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sendiri memperkirakan ekonomi Indonesia pada April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5 persen sampai dengan -5,1 persen.

Resesi menjadi sesuatu yang sedang menanti negara kita di beberapa bulan yang akan datang. Apakah kita di Maluku siap?

 

Kemiskinan

Statistik kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) per 15 Juli 2020 menunjukkan bahwa pada level nasional, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 9,78 persen pada Maret 2020. Ironisnya, di Provinsi Maluku angka tersebut menurun dari 17,64 persen pada periode September 2019 menjadi 17,44 persen pada Maret 2020. Namun, jangan lupa bahwa angka tersebut adalah keadaan yang notabene masih old normal, sebelum Covid-19 mewabah di bumi pertiwi.

Potret kemiskinan pasca Covid-19 melanda, baru akan tergambarkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS pada September 2020 yang kemungkinan angkanya baru dirilis pada Januari 2021. Lama ya? Itulah proses bisnis yang ada saat ini. Stakeholder terkait data resmi kemiskinan selain BPS, juga adalah Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial yang berwenang melakukan verifikasi dan validasi data terpadu kesejahteraan sosial, minimal satu kali dalam setahun.

Mencermati perkembangan terkini dimana semuanya serba online, pemangku kepentingan terkait database penduduk miskin perlu meninjau kembali mekanisme penghitungan garis kemiskinan yang menjadi dasar penentuan tingkat kemiskinan sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia nomor 5 tahun 2019 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia nomor 11 tahun 2019. Hal tersebut mengingat pengeluaran rumah tangga untuk kelompok komunikasi, khususnya pembelian paket data internet jauh lebih besar dibandingkan sebelum Covid-19 melanda. Tentunya hal ini secara langsung mempengaruhi komposisi pengeluaran rumah tangga.

Di lain sisi, dengan himbauan Pemerintah untuk “stay at home” atau “tado di rumah sa” yang bertujuan mengurangi kontak fisik dengan orang lain, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana cara stakeholder melakukan pemutakhiran data terpadu penduduk miskin tersebut ya? Mengingat warga masyarakat kita belum semuanya terbiasa memberikan data secara mandiri, baik dengan mengisi sendiri kuesioner secara online ataupun offline, maupun wawancara lewat telepon. Tingkat partisipasi saat pelaksanaan Sensus Penduduk Online (SPO) 2020 di Maluku saja pun di bawah level 7 persen, padahal dengan tipe pertanyaan yang relatif sederhana.

Menjadi perhatian saya, sejauh mana pihak yang diamanatkan tanggung jawab verifikasi dan validasi data, melakukan tugas tersebut dan menghasilkan basis data kemiskinan yang valid? Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja bersama Menteri Sosial; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kepala Bappenas di awal bulan ini mengeluarkan pernyataan meminta Pemerintah menghukum Pemerintah Daerah yang tak perbaharui data penduduk miskin. Ini mengindikasikan adanya ketidakseriusan Pemerintah Daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Padahal kelompok penduduk inilah yang akan sangat terdampak jika resesi melanda.

 

Pendidikan

Pagi ini ketika berkendara sambil mendengarkan siaran radio, ada satu pembahasan tentang keluhan orang tua murid terkait kendala yang dihadapi siswa dalam mengikuti pembelajaran online. Beberapa di antara kendala tersebut adalah: ekstra pengeluaran untuk membeli paket data internet; ketersediaan gadget atau perangkat elektronik; serta kemampuan anak untuk mengikuti pembelajaran lewat laptop/telepon seluler. Ini tantangan yang butuh segera dicarikan solusinya.

Misal untuk Kota Ambon, dibandingkan icon sebagai City of Music atau City of Fish atau City of Peace yang memang penting, namun saat ini jauh lebih penting membangun system “Cyber City”. Saya menemukan informasi bahwa pada tahun 2008, Kota Ambon sudah ditetapkan sebagai Cyber City. Ini adalah langkah awal yang baik yang perlu ditindaklanjuti karena akan menjadi solusi bagi banyak pihak, khususnya bagi sekelompok penduduk yang memiliki keterbatasan. Menyediakan koneksi internet yang mudah dan dengan harga yang terjangkau, seyogyanya menjadi prioritas Pemerintah Daerah saat ini.

Tantangan berikutnya adalah terkait sarana-prasarana untuk melakukan aktifitas dari rumah – AFH (anything from home), baik itu study from home (SFH) ataupun work from home (WFH). Bahan baku untuk mencari solusi bagi masalah ini adalah (lagi-lagi) DATA. Pemerintah Daerah perlu sungguh-sungguh membangun dan menyiapkan basis data (kemiskinan) yang akurat dan terkini sebagai dasar perencanaan yang efektif dan efisien. Kita membutuhkan pemetaan kebutuhan setiap wilayah dan spesifikasinya, untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam bentuk program pembangunan yang tepat sasaran.

Saya usulkan agar Pemerintah Daerah membangun dan atau mengoptimalkan (jika sudah ada) pusat kegiatan belajar masyarakat. Pemerintah Daerah, bisa juga dengan menggandeng sektor swasta lewat skema corporate social responsibility (CSR), diharapkan memperlengkapi wadah tersebut dengan komputer dan media elektronik lainnya yang bisa menjadi solusi bagi penduduk yang membutuhkan. Sedemikian hingga diharapkan akan memperkecil kesenjangan antara mereka yang mampu dengan yang kurang/tidak mampu, khususnya dalam pelayanan pendidikan. Resesi ataupun tidak, peningkatan sumber daya manusia merupakan harga mati, bukan?

 

Ketenagakerjaan

Secara empiris kita dapat mengibaratkan pencari kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia sebagai pertumbuhan penduduk versus ketersediaan bahan makanan menurut teori Thomas Robert Malthus. Dengan kata lain, fenomena yang ada saat ini adalah jumlah pencari kerja bertambah secara eksponensial (mengikuti deret ukur) di saat lowongan pekerjaan bertambah secara aritmatik (mengikuti deret hitung). Itu bahkan sudah terpola sebelum kita berada di era penyebaran virus corona ini. Pengangguran terbuka Provinsi Maluku di Agustus 2019 mencapai 7,08 persen, meningkat dari angka pada Februari 2019 yang sebesar 6,91 persen.

Dengan kita memasuki masa new normal, ada banyak perubahan pada segala bidang kehidupan. Kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang pencari kerja, otomatis pun berubah. Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, Pemerintah Pusat telah menyiasati kondisi ini dengan diluncurkannya program Kartu Prakerja. Daripada membahas kelemahan maupun keterbatasannya, sebaiknya rekan-rekan pencari kerja memanfaatkan fasilitas ini sembari menutupi celah yang ada dengan berinovasi dan berkreasi. Tuntutan pekerjaan semakin kompleks dan berat. Pencari kerja perlu ekstra kerja keras memperlengkapi dirinya dengan aneka kemampuan untuk bisa bersaing dan survive.

 

Pada akhirnya, menurut hemat saya, komunikasi yang terbuka dan intens antara semua elemen pemerintahan dan masyarakat akan menjadi modal utama kita dalam beraktifitas di era “berdamai dengan corona” ini. Pemerintah Daerah perlu membuka ruang seluas-luasnya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, termasuk mendengarkan masukan dari semua pihak demi mencari sederat solusi sesuai level urgensi dan manfaatnya. Saya pikir, sebagian besar jalan keluar bagi tantangan yang ada, sejatinya dapat ditemui di dalam daerah kita sendiri karena kita memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan wilayah lain. Belajar dari pengalaman orang lain itu baik, namun pastikan kita terlebih dahulu mengenali kelebihan dan kekurangan kita sendiri.

Alokasi anggaran untuk membangun sistem pemerintahan dan pelayanan masyarakat berbasis teknologi informasi (TI) seyogyanya pun semakin meningkat. Sederhananya begini. Ketika data kependudukan kita sudah akurat, mutakhir, serta didukung oleh TI yang memadai, dan kemudian ada pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat seperti pada waktu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka petugas yang dilengkapi dengan alat scanner, tinggal memindai (atau menginput data) nomor induk kependudukan (NIK) si pelanggar. Datanya akan langsung terhubung ke sistem basis data Pemerintah Daerah dan pelanggaran tersebut akan menjadi catatan ketika yang bersangkutan melakukan pengurusan di institusi pelayanan publik. Sedemikian hingga masyarakat akan terkondisi untuk belajar dewasa dan taat pada peraturan.

 Perjalanan menuju tercapainya penyelenggaraan pemerintahan yang tangguh melindungi warganya tentu masih panjang. Membangun ketahanan agar siap menghadapi segala bentuk badai itu tidak mudah. Mari mulai sekarang, mari mulai dari diri kita sendiri. Samua ni par katong pung bae kio!


- Dimuat di harian Ambon Ekspres edisi Kamis, 31 Juli 2020

Komentar