Teruskanlah Kebaikan yang Kita Terima..


Kemarin saya membaca kisah Pak Dedi Mulyadi, salah satu anggota DPR RI, yang diberitakan Kompas, yang mana tadinya beliau ingin masuk tol namun jadinya memutar arah karena tiba-tiba merasa ingin masuk ke jalur itu. Saat melewati jalan arteri itulah beliau melihat seorang pria paruh baya sedang duduk di pagar tembok untuk istirahat dengan di depannya ada tumpukan keripik bawang. Kata Pak Dedi, "Saya sudah maju jauh, mundur lagi karena melihat pria itu dan ingin membeli dagangannya,". Singkat kata, beliau membeli semua keripik bawang yang dijual dan bahkan mengantar penjualnya pulang ke rumah. Di sana, pak penjual itu jatuh meninggal di depan Pak Dedi dan keluarganya.

 

Saya jadi teringat pernah mengalami hal yang kurang-lebihnya sama, semasa masih kuliah di ITS Surabaya. Pada suatu waktu, ketika tidak ada jadwal kuliah, dengan menggunakan sepeda motor saya menuju ke daerah Ubaya. Ketika melewati kompleks perumahan Galaxy yang mana setau saya pada saat itu termasuk kawasan elit dengan rumah yang umumnya berpagar tinggi, sekilas saya melihat seorang ibu duduk di depan salah satu gerbang rumah. Kemudian kepikiran, “Tuh Ibu ngapain ya duduk di situ?” Rasanya aneh, karena ga ada orang sepanjang jalan itu yang duduk nggelosor gitu depan rumah. Sepertinya bukan pemilik rumah juga. Dalam kebingungan itulah muncul pemikiran, “Kamu balik deh, samperin Ibu itu.” Saya spontan bengong. Balik? Duh, kudu muter lagi. Secara itu satu arah jalannya. Tapi di hati kuat sekali kalo saya harus balik ke Ibu itu. Dan saya turutin.

 

Setibanya saya di depan Ibu itu, saya turun dari motor, menghampirinya dan terjadilah dialog.

Saya (S) : Ibu, ngapain di sini?

Ibu itu (I) : Saya mau bertemu suami saya yang bekerja di proyek konstruksi deket sini, Mbak.

S : Ibu sudah ketemu suami Ibu?

I : Kata orang di proyek itu, suami saya sudah pindah entah kemana.

S : Lalu kenapa Ibu duduk di sini? Kenapa tidak pulang saja?

I : Saya harus ketemu suami saya, Mbak. Saya dari Malang. Anak saya masuk rumah sakit dan butuh biaya.

 

Di situ, saya baru sadar bahwa ekspresi beliau itu sedih dan sepertinya putus asa. Bayangkan, anak sakit, jauh-jauh dari Malang dengan harapan ada solusi dengan bertemu suami, tetapi suami entah dimana. Saya kemudian ingat, di kost itu saya punya sejumlah uang. Ceritanya, ada pertemuan Kepala BPS Kabupaten/Kota di salah satu kota di Jawa Tengah. Di zaman yang belum online itu, para Kepala BPS Kabupaten/Kota dari Maluku minta bantuan saya membelikan tiket kereta dari Surabaya ke kota tempat pelaksanaan kegiatan. Uang ganti pembayaran tiket yang mereka berikan, masih saya simpan di lemari kamar kost. Segera saya bilang, "Ibu tunggu bentar ya. Jangan kemana-mana."

 

Saya segera memacu motor kembali ke kost saya yang terletak di Keputih. Kira-kira 15 menit berkendara. Di atas motor sepanjang perjalanan itu, saya menangis sejadi-jadinya. Saya ingat pada suatu masa, (Alm) Mama saya pun pernah membutuhkan uang untuk pembayaran uang masuk sekolah salah satu kakak saya. Pada waktu itu, saya menemani Mama ke rumah kepala kantor (Alm) Papa saya, namanya Pak Butje Nanlohy, untuk meminjam uang. Lebih dari 1 jam, saya menemani Mama duduk dengan isteri kepala kantor-nya Papa (Tante Joice), menunggu Pak Butje pulang kantor. Saya bisa membayangkan perasaan malu Mama saat itu, karena harus meminjam uang. (Alm) Mama yang saya kenal itu pantang meminjam dan mengajarkan kami untuk sebisa mungkin jangan berhutang. Sampai beliau harus meminjam uang, itu artinya sudah tidak bisa sama sekali. Di satu sisi, saya sungguh amat sangat menghargai keramahan Tante Joice yang menerima kami dengan penuh kasih. Tidak ada tampang masam ataupun kekasaran yang nampak, padahal beliau tahu, Mama datang untuk meminjam uang.


Doa saya di atas motor dengan pandangan yang agak buram karena berlinangan air mata, “Tuhan, tolong tahan Ibu itu di situ. Jangan biarkan beliau beranjak pergi kemana-mana. Saya mengerti benar perasaannya saat ini.” Sampai di kost, saya ambil semua uang ganti pembayaran tiket yang ada, dan langsung kembali ke tempat Ibu tersebut duduk. Syukur kepada Tuhan, Ibu itu masih di sana. Turun dari motor, saya langsung berikan uang itu kepada Ibu tersebut yang tidak serta-merta mau menerimanya. Beliau masih bertanya, “Nanti Mbak sendiri bagaimana?”. Trenyuh banget rasanya. Saya bilang, “Ibu ga usah mikirin saya. Ibu lebih perlu.” Saya lalu menganjurkan beliau agar segera kembali ke Malang supaya bisa mengurus anaknya yang sakit sambil berdoa, semoga bisa segera menerima kabar dari suami beliau.

 

Saya percaya, salah satu cara Tuhan berbicara kepada kita adalah melalui hati nurani. Pak Dedi mengalaminya, saya mengalaminya, dan saya percaya sesungguhnya setiap kita mengalaminya. Tinggal bagaimana kita mau meresponinya. Sampai saat ini pun, kalau saya mengingat kembali kebaikan hati (Alm) Pak Butje, secara khusus Ibu Joice yang begitu penuh kasih menerima (Alm) Mama saya, saya masih meneteskan air mata. Oh ya, di kemudian hari ketika Mama mau mengembalikan uang yang dipinjam, kata Pak Butje, "Tidak usah dikembalikan".


Orang sering bilang, “What goes around, comes around” (apa yang kita lakukan akan kembali kepada kita). Hal itu juga berlaku sebaliknya. Dari pengalaman saya, “What comes around, goes around.” Kiranya kebaikan yang kita terima tidak berhenti di kita, tapi kita kembalikan lewat orang lain yang membutuhkan. Tuhan memberkati..  👼🙏

Komentar