Melewati Tahun (=Lembah Kekelaman) Kedua di Korea Selatan

Menggunakan hitung-hitungan kalender normal, lama saya menjadi  penduduk Korea belum genap 2 tahun. Akan tetapi berdasarkan kalender akademik, saya sudah menyelesaikan 2 tahun menjadi mahasiswa di Korea Selatan. So, inilah rangkuman kisah menjalani tahun kedua di Korea Selatan.


https://jokogunawan.com/blog/2018/10/07/education/420/

Spring 2020 atau semester ketiga, saya selesaikan secara online dari Ambon, Indonesia. Ini benar-benar luar biasa dan menjadi pengalaman tak terlupakan. Menjadi mahasiswa di LN tapi kuliah dari rumah. Kurang enak apa coba? Sebelum Fall 2020 dimulai, alias semester keempat, saya kembali ke Korea dan mengawali aktifitas rutin dengan masa karantina 14 hari yang saya jalani di luar asrama.


Tinggal di asrama di era new normal ini ada plus-minusnya. Plus-nya, sekamar hanya boleh ditempati oleh satu orang. Minus-nya, uang asrama mengalami kenaikan sekitar 40 persen di saat uang saku tidak mengalami pertumbuhan positif. Ditambah fakta bahwa pada tahun 2019, menurut the Economist and Intelligence Unit, Seoul menempati urutan ke-7 kota dengan biaya hidup termahal di dunia, lengkaplah sudah. Itu sebelum COVID-19 menjajah loh ya. Apalagi setelahnya? Hahaha.. Nasib.

Anyway, thank God, beta masih survive sampai detik ini. Perkuliahan fall 2020 menurut rencana akan berlangsung online di 4 minggu pertama dan setelahnya secara hybrid. Namun dalam kenyataannya berlangsung online sepanjang semester sesuai kesepakatan dengan Professor. Enak juga. Setelah bangun tidur, ke kamar mandi, trus naruh makan pagi di samping laptop, mulai deh kuliah. Di sela-sela break, bisa manasin waffle, tidur bentar, atau apalah sebelum nongkie lagi di depan laptop.

Dikarenakan tinggal di asrama, kami wajib melaporkan suhu badan dan ada-tidaknya gejala sakit, sekali dalam sehari melalui link yang tersedia di web asrama. Setiap perkembangan terkait coronavirus pun selalu diumumkan. Ketika Sensus Penduduk 2020 Korea Selatan diselenggarakan, kantor asrama cukup proaktif mensosialisasikan.

Awalnya, saya keluar 2 kali seminggu untuk berbelanja kebutuhan pokok dan melihat dunia. Tapi lama-kelamaan, sekali seminggu doang keluarnya. Minimnya aktifitas luar ruangan membuat saya mengurangi porsi makan saya. Alhasil, beras 4 kg itu cukup untuk 4 bulan plus beberapa porsi nasi instan. Tapi berkurangnya porsi nasi itu mengalami cancel in-cancel out dengan cemilan. Hahaha.. Sama aja ya? Saya mulai jatuh cinta dengan bakpau isi kacang merah-nya Korea, kue-kue beku-nya Korea, pizza Bulgogi-nya, dsj.

Walaupun sebagaimana negara lainnya, Korea Selatan masih terus bergelut dengan peningkatan kasus terinfeksi COVID-19, saya harus akui, rasanya lebih tenang hidup di Korea dibandingkan Indonesia. Saya sampaikan itu dalam evaluasi online dengan Direktur Utama LPDP dan jajaran. Secara di Korea Selatan itu peraturan ditegakkan dan dipatuhi (sebagian besar) masyarakat. Dalam 4 bulan, baru 2 kali saya bertemu orang yang berjalan di jalan kecil dengan tidak menggunakan masker. Bagaimana dengan Indonesia? Tapi ya, sebagai WNI, apa boleh buat. Ketika waktunya harus kembali, mau tidak mau harus segera beradaptasi.

Satu hal yang paling menarik, mendebarkan, dan menegangkan di fall 2020 adalah bahwa di semester ini saya harus menyelesaikan ujian komprehensif saya. Ini yang bikin sepanjang semester, makan tak nyaman, tidur tak nyenyak. Ehmm, ini agak hiperbola. Hahaha... Tapi, iya juga sih. Kalo ga ada yang dikerjakan sih bisa lebih fokus ya. Menuju ke ujian komprehensif alias ujian kandidasi itu, makin asoy..

Dalam persiapan menghadapi ujian kompre, saya harus mempelajari materi dari 8 Professor yang akan diujikan selama 5 jam secara tertulis dan tutup buku. Di saat usia sudah tidak lagi muda, dan neuron-neuron di otak ga se-cetar masa S1 dan S2, ini tantangan (BERAT!). Modal study hard, pray harder menjadi andalan saya. Hahaha.. Bener-bener butuh kekuatan ekstra dari Sang Pemberi Hidup.

Ketiba tiba hari-H, saya sudah mempersiapkan bekal buat pengganjal perut di kala break antar sesi. Ada pisang, biskuit, dan minuman. Namun yang terjadi, semua itu tidak tersentuh sedikitpun. Puji Tuhan-nya, dengan pertimbangan kadang dalam ruangan ga terlalu hangat sekalipun ada pemanas, saya sudah memperlengkapi diri dengan memakai thermal underwear, sweater, syal, dan jaket tebal. Dan memang kejadian. Sekalipun ada pemanas, kami perlu tetap menggunakan jaket tebal sampai selesai ujian. Bayangkan kalo ujian sambil kedinginan. Ga lucu poool!


Sebelumnya saya pikir, tes IELTS sudah merupakan tes paling menegangkan sedunia. Ternyata, dari pengalaman saya (yang tentunya berbeda antar individu), tes IELTS ga ada apa-apanya. Ketika ujian kompre kemarin itu, sampai-sampai ketika terasa perih di tangan bagian kanan, ternyata saking mengalami gesekan terus-menerus dengan kertas saat menulis, itu udah merah banget dan udah mau lecet. Akhirnya kudu mengatur posisi tangan saat menulis supaya ga lagi tergesek dengan kertas. Sesuatu kan? Mo mikirin jawaban kek, posisi tangan kek.. Aigooo...

Ketika ujian yang langsung diawasi oleh salah satu Professor itu selesai, rasanya beban berat terlepas. Saya masih sanggup keluar belanja di depan kampus sebelum kembali ke asrama. Setibanya di asrama, baru berasa kayak ga ada tulang. Lemes, letih, lunglai... Tapi ga bisa langsung tidur juga. Masih ada satu paper yang kudu diselesaikan. Hahaha..

Menilik gambar kaos bertuliskan PhD Student vs. PhD Survivor di atas, kurang lebihnya bisa menyimpulkan tahapan perjalanan menuju selesainya studi pada suatu jenjang doktoral, sekalipun tidak ada satu konsensus yang jelas terkait hal itu. Pada umumnya ketika memulai studi S3, kita secara otomatis menyandang status sebagai Ph.D Student. Tahapan berikutnya adalah menggantikan kata "Student" dengan "Candidate". Di sini ini yang bervariasi antar universitas. Namun, pada umumnya, setelah menyelesaikan comprehensive exam, dimana hanya tersisa tahapan penulisan disertasi, seseorang bisa disebut sebagai Ph.D Candidate.

Awalnya, saya menganggap perbedaan itu penting. Tapi makin ke sini, makin berasa, yang penting mah, selesai tepat waktu atuh! Sedemikian hingga setuju banget untuk lebih menggunakan istilah Ph.D Survivor (=selesai tepat waktu, sesuai yang ditargetkan).

Ketika dinyatakan lulus ujian kompre, saya hanya bisa bersyukur. Untuk sampai ke titik ini, mo dibilang klise kek apa kek, ini semata-mata anugerah Tuhan. Saya akui kalo saya termasuk siswa yang cemerlang sampai dengan bangku SMA. Tapi tidak semasa menyandang status mahasiswa S1 dan S2. Saya masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) hanya karena itu sekolah kedinasan dan ada jaminan menjadi PNS setelah lulus. Alhasil, belajar hanya untuk lulus. S2 saya di ITS pun karena ada beasiswa dari kantor, dan shock banget setelah nyampe di ITS dan tahu jurusannya Statistik. To some extent, survivor juga sih ya. Hahaha... Sedemikian hingga saya tidak heran, ketika salah satu senior saya mengatakan, "Pauline mau S3 ke Korea? Waah, padahal dulu biasa aja ya?". She knew me well; however, people change.

Dengan pertolongan Tuhan, kiranya saya dimampukan untuk menyelesaikan satu lagi etape (dengan berbagai sub-etape-nya!) untuk menghilangkan apapun embel-embel yang ada di belakang tulisan Ph.D dan menjadi seorang Ph.D. Ini akan menjadi etape yang semakin tajam tikungan dan tanjakannya, tapi saya pandang sebagai kesempatan mengaktualisasikan permasalahan yang ada di daerah asal saya menjadi satu kontribusi yang berarti dalam cara kita memandang dan membangun Indonesia dengan lebih baik. May God help me!

Sebagai puteri asli Maluku, kalau bukan saya yang mengangkat permasalahan yang ada di daerah saya, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Secara untuk dapat beasiswa, ada batasan umurnya ee.. Hahaha..

Stay safe, stay healthy, and stay sane, everyone. Annyeonghaseyo and God bless us!

Komentar

Posting Komentar