Bukan Main...

Beberapa media nasional di sekitar minggu kedua Januari 2021 memuat pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa penanganan COVID-19 di Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Jujur, berita ini melegakan di tengah hiruk-pikuk pandemi coronavirus ini. Kurang lebih 2 minggu kemudian, kelegaan itu agak terganggu dengan tajuk berita di salah satu media cetak nasional terbesar di Indonesia: “Asosiasi RS Swasta: Pemerintah Belum Bayar Uang Perawatan Pasien Covid-19 Puluhan Miliar Rupiah”. Spontan, muncul di pikiran saya salah satu meme iklan rokok, “Bukan main…”

Ada lagi kisah lain yang dimuat di media cetak nasional. Beberapa waktu lalu, ketika mengomentari 2 pejabat di salah satu daerah istimewa di negara ini yang positif terjangkit virus corona, sang Sekretaris Daerah menghimbau masyarakat untuk tidak usah makan bareng-bareng (dalam rangka meminimalkan melepas masker). Akan tetapi, di suatu wilayah yang berbeda, dalam rangka merayakan ulang tahun salah satu tokoh penting di negara ini, ada beberapa orang yang di dalamnya termasuk kepala daerah wilayah tersebut, melepas masker dan meniup lilin bersama-sama. Menurut pemberitaan, mereka mengaku tetap menjaga protokol. Lagi-lagi, “Bukan main…”

Saat ini saya sedang menjadi anak kampus lagi di Negeri Ginseng, negara yang hari kemerdekaannya hanya berbeda 2 hari dari negara tercinta – 15 Agustus 1945. Negara yang kira-kira seluas Provinsi Papua Barat ini miskin sumber daya alam. Mereka tidak memiliki minyak bumi, kebutuhan kayu sebagian besar dari impor, dan bahkan pernah menjadi salah satu negara termiskin di dunia setelah era perang saudara di tahun 1950-an. Tapi bagaimana mereka bangkit dari keterpurukannya sehingga menjadi Korea Selatan yang kita lihat sekarang ini, itu bukan sulap dan bukan sihir. Bukan main…

Sektor pendidikan adalah aspek yang ingin saya soroti dalam opini kali ini. Jika melakukan penelusuran daring, kita akan menemukan informasi bahwa Korea Selatan adalah salah satu negara paling berpendidikan di dunia. Waktu yang dialokasikan murid-murid di Korea Selatan untuk belajar lebih banyak jika dibandingkan kebanyakan negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Develoment (OECD). Bahkan ada pernyataan bahwa sistem pendidikan di Korea Selatan itu “stressful, authoritarian, brutally competitive, and meritocratic” atau dengan kata lain “penuh tekanan, penuh tuntutan, persaingan yang tinggi, dan pencapaian karena kualitas bukan karena pangkat/keturunan/agama.” Salah satu teman Korea saya pernah mengatakan, kalau lampu tetangga masih hidup artinya mereka masih belajar dan kita pantang untuk tidur mendahului mereka. Bukan main…

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak tahun 2000, OECD melakukan penilaian kemampuan siswa berusia 15 tahun secara international melalui Programme for International Student Assessment (PISA) setiap 3 tahun sekali, yang mencakup bidang studi Membaca; Matematika; dan Ilmu Pengetahuan. Indonesia mulai berpartisipasi dalam program ini sejak tahun 2001. Sejak tahun 2001 sampai 2018, performa siswa di bidang Ilmu Pengetahuan dan Matematika berfluktuasi, sedangkan performa di bidang studi Membaca cenderung membentuk kurva distribusi Normal alias gambar lonceng. Satu hal yang pasti, ketiga indikator dalam pengukuran skor PISA Indonesia tersebut mengalami penurunan pada publikasi terbaru di tahun 2018. Padahal anggaran pendidikan di Indonesia terus meningkat. Bukan main…

Hasil penelitian kolaborasi World Bank dan Pemerintah Australia melalui artikel “Who Learns What in Basic Education? Evidence from Indonesia” di tahun 2018 cukup menyentakkan. Ada sekitar 40-50 persen siswa SD dan SMP yang tidak menguasai kemampuan dasar yang diatur dalam kurikulum yang berlaku di Indonesia, yang bersifat esensial untuk pembelajaran tahap selanjutnya. Sangat sedikit siswa di Indonesia mempelajari penghitungan bidang datar dari sebuah segitiga di akhir kelas 5 ataupun aturan dasar operasi Matematika (penjumlahan, pengurangan, dan perkalian) di akhir kelas 4. Temuan lainnya adalah, banyak siswa SD dan SMP di Indonesia yang mengalami kesulitan mengerjakan soal latihan Matematika dalam bentuk soal cerita. Cukup mencengangkan ya? Bukan main…

Saya secara pribadi terpana juga ketika mengetahui fakta lainnya bahwa, dengan mengacu ke skor PISA, pencapaian pendidikan kita berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, serta hanya lebih baik dibandingkan Filipina. Secara empiris, ini sesuai dengan cerita seorang kenalan dari Malaysia yang mengatakan bahasa Inggris menjadi bahasa kedua yang diajarkan di sekolah-sekolah. Lah kita? Bahasa Indonesia aja masih tertatih-tatih. Bukan main…

Tujuan saya menyentil tentang isu pendidikan adalah untuk pada akhirnya dikaitkan dengan penanganan COVID-19 di Indonesia, khususnya di bumi raja-raja, Maluku tercinta. Sudah banyak yang Pemerintah dan pihak terkait lakukan untuk mengampanyekan tindakan-tindakan praktis untuk menahan laju penyebaran virus. Mulai dari 3M (Memakai Masker; Menjaga Jarak; dan Mencuci Tangan), sampai pun saat ini ada lagi tambahan 2M lainnya: Mengurangi mobilitas dan Menghindari kerumunan. Namun hal ini nampaknya tidak linier dengan kesadaran masyarakat. Ada yang berpendapat, masyarakat sudah cape. Bahkan ada kabar-kabur yang mengatakan, “Kalau corona ini benar ada, pasti sudah banyak orang di pasar (tempat keramaian) yang meninggal karenanya!” Bukan main…

Sejenak kembali ke Korea Selatan, negara ini diakui sebagai salah satu negara dengan penanganan COVID-19 terbaik di dunia. Saya lalu menduga, rendahnya ketaatan masyarakat terhadap aturan dan himbauan Pemerintah, secara khusus terkait pencegahan penyebaran virus COVID-19, turut dipicu oleh rendahnya kualitas pendidikan masyarakat. Mungkin akan ada yang berkomentar: “Tapi kan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), baik pada level Indonesia maupun Provinsi Maluku, terus meningkat sejak tahun 2010 – 2019?” Untuk diketahui bersama, IPM sebagai salah satu ukuran kemampuan manusia dibentuk oleh 3 aspek: umur panjang (diukur dengan angka harapan hidup saat lahir); pendidikan (diukur dengan angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah); serta penguasaan sumber daya yang dibutuhkan untuk kehidupan yang layak (diukur dengan pengeluaran per kapita).

Saya sebutkan di atas, bahwa Pemerintah dan pihak terkait sudah banyak melakukan kampanye tindakan-tindakan preventif dalam memutus mata rantai coronavirus. Namun, Pemerintah juga perlu berbesar hati untuk menerima masukan bahwa masih banyak blind spots (titik lemah) yang harus dibenahi. Seingat saya, Pemerintah Kota Ambon pernah mengeluarkan peraturan tentang denda bagi masyarakat yang tidak mengenakan masker. Apakah peraturan itu ditegakkan secara kontinyu? Aparat keamanan pun turut berjaga-jaga di jalan sambil memantau penggunaan masker di jalan-jalan, tetapi apakah konsisten? Secara saya pernah berkendara dan melihat seorang aparat keamanan tidak melakukan tindakan apa-apa kepada anggota masyarakat yang berjalan di dekatnya tanpa menggunakan masker. Bukan main…

JIKA di satu sisi, masyarakat tidak sepenuhnya taat aturan atau bahkan jangan-jangan tidak mau diatur(?), dan di lain sisi Pemerintah sebagai pihak yang berwenang, tidak tegas dan tidak konsisten dalam penerapan aturan, maka kekacauan sosial dan ekonomi hanyalah masalah waktu. Kalo su bagitu, sapa mo help?


~ Harian Ambon Ekspres edisi Rabu, 27 Januari 2021


Komentar


  1. Sangat terinspirasi Dan membangun wawasan Saya
    Thanks for information kak lin
    God bless you 🙏🏻

    BalasHapus

Posting Komentar