Melewati Tahun (=Lembah Kekelaman) Pertama di Korea Selatan

Beberapa teman LPDP dengan negara tujuan Korea Selatan pernah bertanya bagaimana perkuliahan di Korea? Gimana kehidupan di sana? Nah, ketepatan semester berjalan udah kelar dan libur musim dingin sudah dimulai, bisa-lah beta berbagi cerita.. Semester udah kelar??!! Yayyy... 😇😎😍


Kalo ditanya pengalaman ketika pertama nyampe, duh trenyuh banget deh. Tiba di akhir musim dingin dan sejak dari landing yang nampak adalah rumput-rumput kering dan pohon-pohon tanpa daun. Sempat membatin, "Tuhan, kok keknya kurang meyakinkan ini negara?". Maklum, orang kampung baru pernah mengalami akhir musim dingin. Belon lagi sepanjang jalan bukan alfabet Latin, melainkan aneka simbol (aksara Korea) yang ditemui. Trus, dengan bus bandara itu nyampenya di pintu belakang kampus, agak jauh dari pintu utama yang mana tempat mangkal bus kampus untuk ke dormitory. Kudu geret koper kiri-kanan dengan perut yang sudah keroncongan sambil diterpa angin dingin. Tangan udah yang gemeteran aja. Syukur kepada Tuhan, Beliau mengirimkan seorang mahasiswi yang membantu nggeret 1 koper (yang kecil) dan pada saat akan menuruni sekitar 100-an anak tangga, tiba-tiba ada seorang bapak lewat dan yang bisa saya mintai tolong membawakan koper saya yang lebih besar.

Jujur, 2 malam pertama di Seoul adalah masa-masa kritis. Saya baru ngeh yang sudah berada di negara orang, ga bisa sering-sering pulang, daaaaan sendiri. Rasanya saat itu saya mengalami panic attack. Udah pengen pulang ajah. Sempat membatin, masa bodoh sama sekolah lagi. Pokoke pulang!!! Puji Tuhan, saya diingatkan untuk berdoa dan melaluinya ada kekuatan untuk terus melangkah. Hari kedua di Seoul, saya sesuai jadwal, bertemu Ketua Jurusan yang saya ceritakan di Mengatasi Ketakutan. Bener-bener dah! Semakin berasa tantangan menjadi mahasiswa lagi.

Semester pertama terlewati dengan cukup meyakinkan. Mengunjungi tempat wisata di seputaran Seoul itu sebagian besar by accident. Misalnya, mengunjungi Gyeongbokgung Palace itu karena nemenin temen dari Jakarta, demikian juga ketika mengunjungi Namsan Tower. Trus, ke Nami Island itu karena ikutan nemenin temen yang blom pernah ke sana. Saya cukup tahu diri, sekolah lagi di kala usia tidak lagi muda itu butuh extra effort-lah ya. Bukan juga berarti saya tidak menikmati hidup. Sekali sebulan saya bertemu beberapa teman Indonesia untuk berbagi suka dan duka. Dan yang paling saya tunggu-tunggu adalah jadwal tidur siang di hari Minggu sepulang gereja. Rasanya nikmat banget! Secara di hari biasa, sekalipun ngantuk, tempat tidur itu hanya berguna kala malam. Misal ngantuk saya tak tertahankan lagi di siang hari, saya akan pause beberapa menit dan meletakkan kepala di atas meja belajar dan setelah itu kembali ke laptop.

Di artikel saya tentang Mengatasi Ketakutan, saya menyebutkan tentang resep pertama saya, yakni "Study hard, pray harder!". Itu amat sangat signifikan menguatkan saya melewati 2 semester pertama di Korea. Bener-bener hanya karena kemurahan-Nya saya bisa bertahan dan bahkan eksis. Saya mengalami sungguh, sekolah lagi itu bukan sekedar menambah ilmu tetapi mengajar saya semakin rendah hati, mengandalkan-Nya, serta bagaimana berbagi beban dengan orang di sekitar kita.

Ada satu pengalaman saya di kelas Econometrics. Di pertemuan terakhir sebelum minggu ujian akhir, saya masuk kelas tanpa menyadari bahwa di hari itu akan ada quiz terakhir dengan bobot nilai terbesar. Beberapa menit sebelum kelas dimulai, barulah saya mengetahuinya dari seorang teman yang sudah kedua kalinya mengambil mata kuliah tersebut. Shock? Jelas! Secara biasanya Professor mengumumkan di cyber campus, tapi kali itu tidak. Ternyata seminggu sebelumnya beliau mengumumkan di kelas tetapi dengan menggunakan bahasa Korea. Saya kemudian memutuskan kembali ke dorm untuk mengambil materi bab-bab sebelumnya yang akan turut di-quiz-kan hari itu. Biasanya Professor akan membahas materi selama 1 jam dan sisa waktu digunakan untuk quiz. Jadi saya pun kembali ke dorm dengan tidak terburu-buru sambil berdoa dalam hati dan menyenandungkan lagu, "Ku Berserah Kepada Allahku" (secara memang ga ada pilihan lain) #sigh. Ketika kembali ke kelas ternyata quiz sudah dimulai. Menghadapi kertas soal dan lembaran jawaban, doa saya adalah, "Tuhan, berikanlah saya ketenangan dan hikmat untuk mengerti bagaimana menjawab pertanyaan yang ada". Secara kalo saya harus mengulang mata kuliah tersebut lagi, itu berarti merubah semua schedule yang ada untuk selesai tepat waktu. Puji Tuhan, saya mendapatkan nilai akhir B+ untuk Econometrics. Sungguh, bagi saya itu mujizat. Bukan sekedar tidak perlu mengulang, namun bagaimana sikap saya yang tenang di hari itu, bukan Pauline yang dulu!



Pengalaman lainnya, di saat berkutat dengan setumpuk tugas di akhir semester dan ada teman yang minta bantuan untuk pindahan, rasanya dilematis sekali. Saya paham yang teman tersebut tidak punya banyak pilihan untuk meminta tolong teman lain karena semua orang pasti sibuk dan lagi hectic-hectic-nya. Dalam kondisi seperti itu rasanya masih mending minjemin duit daripada membagi waktu kita yang sangat berharga itu! Namun, situasi teman tersebut tidak memungkinkan bagi saya untuk menolak membantunya. Trus, ketika kita sudah meluangkan waktu yang rasanya mahal banget, berjalan dalam udara dingin, hanya untuk menemukan teman kita itu tidak berada di tempat sesuai kesepakatannya. Di situ, saya benar-benar diajar untuk sabar dan tulus.

Saya melewati tahun pertama di Korea dengan begitu banyak pelajaran, bukan hanya semata-mata yang saya dapatkan dari aktifitas akademik, namun juga dalam interaksi dengan teman dari berbagai negara. Korea adalah salah satu negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. Teman Korea saya mengakui, mereka terkondisi untuk kompetitif sedari kecil dan diharapkan mencapai yang terbaik. Sedemikian hingga ketika tidak, beberapa di antara mereka akan menjadi depresi dan kemudian melakukan bunuh diri. Dalam pergaulan dengan beberapa teman Korea, ketika diperhadapkan dalam situasi yang tidak mudah, seringkali mereka mengatakan, "I want to kill myself". Padahal kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa menjadi doa yang kemudian menjadi kenyataan kan? Di sinilah penting untuk berbagi keceriaan yang ternyata bisa menjadi komoditi berharga bagi orang lain. Betapa konsep kaya-miskin itu relatif yak! 😎

Hampir setahun di Korea juga secara signifikan berkontribusi terhadap semakin "terangnya" kulit saya. Hahaha.. Semua bermula dari ketika pertama kali tiba di akhir musim dingin, literally speaking, saya terkondisi untuk hampir setiap hari menggunakan aloe vera 98 persen sekujur tubuh saya untuk menjaga kelembaban kulit. Dan itu terus berlanjut, dua hari sekali saya menggunakannya. Selain itu, saya rasa, makanan yang sehat juga membantu menjaga kesehatan kulit. Biasanya saya masak lauk di hari Sabtu dan menyimpannya di kulkas. Ketika akan makan, saya masak nasi sampai setengah matang di microwave, kemudian menaruh irisan brokoli atau sawi pokcoy atau tomat, dan terakhir lauk yang di-stok di kulkas, lalu kembali memasaknya di microwave. Alhasil, nasi mateng, sayur layu (tanpa ditumis) dan lauk pun anget. Selain sehat, ini membantu menabung won ee!


So, in a nutshell alias ringkasan hasil tinggal selama tahun pertama di Seoul adalah:
  • Berasa makin pinter setelah "dicecoki" 8 mata kuliah. Makin pinter ini kudu mempertimbangkan titik start awal ya. Hahaha... 😅
  • Punya makin banyak teman dari aneka negara.
  • Makin terpapar huruf Korea alias Hangeul. Setidaknya ada satu lagi bahasa asing yang kudu dipelajari.
  • Makin sehat, kulit pun makin bersinar. Thanks to Korean's aloe vera! 😁 #ngiklan
  • Punya tabungan selain rupiah. Jelas lah, secara kudu buka rekening sono yak! Plus, kalo bisa berhemat ria, pulang-pulang bisalah bayar uang muka BTN. Hghghg.. #harapan

So, bagi yang punya cita-cita sekolah ke luar negeri, berdoa dan bekerjalah agar bisa terwujud. Banyaaaak plus-nya. Minus juga ada, tapi bukankah hidup ini adalah tentang menaklukkan tantangan dan naik lebih tinggi?

Annyeonghaseyo... 😍

Komentar