Kisah Drama (Tertunda) ke Banda Neira

Jumat, 31 Juli 2020, saya baru saja mengalami suatu kejadian yang luar biasa. Menuntut ketepatan dan kecepatan pengambilan keputusan di detik-detik yang menegangkan. Huff.. 😓

Ceritanya, di setiap liburan semester, saya menargetkan ada yang dicicil terkait penulisan tugas akhir saya nanti. Di libur musim dingin yang lalu, saya mulai inventarisir data dari stakeholder terkait dan di libur musim panas ini saya berencana untuk turun lapangan melakukan eye-catching di kabupaten dengan persentase kemiskinan tertinggi di Maluku, yakni Maluku Barat Daya. Akan tetapi dengan pertimbangan kondisi jarak dan waktu tempuh, rasanya terlalu beresiko. Jatuhlah pilihan saya ke Kecamatan Banda.

Kecamatan Banda terletak di Kabupaten Maluku Tengah dan merupakan kecamatan kepulauan karena terdiri dari banyak pulau. Keadaan geografis sebagai wilayah kepulauan ini yang menarik perhatian saya karena sedikit banyak sesuai dengan konteks Maluku yang adalah provinsi kepulauan. Maka mulailah saya mengatur rencana perjalanan ke Banda yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 7-10 jam perjalanan laut atau kurang dari 1 jam dengan menggunakan pesawat.

Setelah selesai melakukan rapid test, saya meminta surat keterangan dari instansi tempat saya bekerja sebagai pengantar ke Camat Banda. Berbekal surat itu, saya kemudian mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Keluar Ambon dengan tujuan tugas ke Kecamatan Banda dalam rangka pengumpulan data. Selanjutnya, booking-lah saya tiket pesawat Ambon-Banda untuk Senin, 27 Juli 2020. Oh ya, pesawat Susi Air sebagai satu-satunya pesawat saat ini yang melayani Ambon-Banda PP hanya beroperasi di hari Senin. Puji Tuhan, semua seat-nya untuk tanggal 27 Juli 2020 penuh. Hahaha... 😋

Masih dengan semangat 45 ke Banda, saya kemudian berburu informasi kapal laut. Dapatlah informasi bahwa di hari ini - Jumat, 31 Juli 2020, ada kapal PERINTIS yang akan ke Banda dan berangkatnya SEKITAR pukul 2 atau 3 siang. Ini menjadi pilihan yang baik sekali karena saya bisa kembali lagi ke Ambon pada Senin, 3 Agustus 2020, sedemikian hingga tidak terlalu lama di Banda. Btw, mengapa saya menggunakan uppercase alias huruf besar semua di kata PERINTIS? Dikarenakan itu akan jadi pengalaman pertama seumur hidup menggunakan kapal perintis yang kelasnya jauuuuh di bawah kapal Pelni. Lalu tentang SEKITAR? Ini agak-agak mengesalkan, terkait informasi pelayaran di Maluku yang nota bene terdiri dari sekitar 90 persen lautan itu, amat sangat penuh KETIDAKPASTIAN, saudara-saudara!

Sebelum jam 2 saya sudah tiba di Pelabuhan Yos Soedarso, Ambon hanya untuk menemukan informasi dari calon penumpang lainnya bahwa KATANYA kapal akan berangkat jam 7 malam dan bahwa jam 5 baru penumpang diperbolehkan naik ke kapal. Agak-agak gondok sih. Hanya saja hidup ini harus berdamai dengan kenyataan ya sodarah-sodarah. Kecuali dakyu sudah punya kapal sendiri sedemikian hingga bisa memilih yak! So, nongkronglah saya dengan kakak sepupu saya dan juga isterinya yang akan ikut ke Banda.

Oh ya, saya tidak sendirian ke Banda. Dikarenakan saya butuh bantuan untuk melakukan pemanasan pengumpulan data, saya rencananya akan dibantu oleh kedua kakak saya tersebut, sekalian mereka relax dikit-lah dari rutinitas kehidupan ini.

Setelah 3 jam menanti, pintu ruang tunggu pun dibuka dan antrian calon penumpang mulai memanjang. Kami memutuskan untuk belakangan aja masuknya, sekalian nunggu kakak ipar saya yang lain membawakan bekal makanan buat di kapal. Ketika akhirnya kami mengantri dan tiba giliran untuk diperiksa dokumennya oleh petugas, di situ baru ketahuan bahwa untuk masuk ke Banda, perlu ada surat izin masuk dari pihak gugus tugas sana - hal mana tidak saya ketahui sebelumnya dan tidak terinformasikan secara luas dan jelas. Untuk sesaat pandangan saya berkunang-kunang. 😲

Jadi begini ceritanya, pembaca yang budiman. Dalam waktu yang tidak begitu lama, saya perlu kembali ke negara dimana saat ini saya menjadi penduduknya untuk sementara waktu. Sedemikian hingga setiap waktu yang ada perlu dimanfaatkan se-efisien mungkin. Jadi, kalo harus menunda lagi ke Banda, sambil mengurus surat masuk ke Banda, keknya ga keburu deh. Mana kapal ga selalu ada, pesawat pun seminggu sekali. Btw, puji Tuhan, dalam waktu beberapa menit setelah itu, saya mendapatkan nomor telepon Camat Banda.

Bermodal nekat, saya lalu menghubungi Camat Banda yang belum pernah saya kenal atau temui sebelumnya. Puji Tuhan, beliau menerima telepon saya, mau mendengarkan penjelasan saya dan memberikan izin bagi saya dan 2 orang pengikut masuk ke Banda, baru kemudian mengurus surat setibanya di Banda. Bahkan beliau bersedia memberikan penjelasan lewat telepon ke pihak petugas Pelabuhan bahwa saya dan 2 pengikut bisa masuk ke Banda Neira. Terima kasih Pak Camat Banda! You're the best!!! 😎😍

Di meja pemeriksaan terakhir, yakni kesehatan pelabuhan, saat mereka meminta hardcopy dari hasil pemeriksaan rapid test, punya-nya kakak sepupu saya itu tertukar dari pihak Rumah Sakit dan ketika kami informasikan, belum bisa diperoleh sampaipun waktu kami akan berangkat. Puji Tuhan, kami pernah dikirimin softcopy-nya. Oleh pihak kesehatan pelabuhan, mereka meminta saya mengirimkan file tersebut namun di satu sisi, saat itu telepon seluler saya mengalami masalah koneksi ketika menggunakan paket data. Salah satu petugas berinisiatif menghidupkan hotspot wifi dari perangkatnya. Dan...

Ketika terkoneksi dengan internet, sederet pesan masuk dan sekilas saya melihat pesan dari contact person Susi Air Banda bahwa penerbangan Banda-Ambon di hari Senin, 3 Agustus 2020 di-cancel. Untuk kedua kalinya dalam jam yang sama, saya terhenyak. Lah, kalo saya ke Banda dan susah kembali ke Ambon, padahal sudah ada sederet rencana menanti saya di beberapa hari ke depan, trus gimana? Bagaimana kalau saya harus tertahan berhari-hari ke depan, sedangkan saya pun harus mengurus persiapan kembali ke Korea? Setelah perjuangan mendapatkan izin naik kapal yang amat sangat tidak mudah dan tidak terpikirkan sebelumnya, kemudian saya harus batal berangkat? Bagaimana nasib eye-catching saya? 😕

Di saat bengong itu, petugas memberitahukan yang kapal akan segera berangkat. SEMPURNA! Saya lalu minta waktu 1 menit yang kemudian digunakan untuk berdoa. Saya bilang, "Tuhan, ini rumit sekali buat saya. Saya bingung, sama sekali tidak bisa berpikir. Saya membutuhkan informasi awal dari lapangan untuk didiskusikan dengan Professor, tapi saya tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan berhari-hari di sana." Asli, itu salah satu momen yang amat sulit bagi saya ketika harus membuat keputusan. Dan akhirnya, saya memutuskan tidak jadi ke Banda.

Semua perjuangan memperoleh dokumen dan otorisasi untuk bisa ke Banda ternyata hanya sampai di dermaga pelabuhan. Terlalu mahal harganya kalau saya memaksakan tetap jalan. Akhirnya kedua kakak saya tersebut tetap jalan sambil kami akan terus berkomunikasi dan melihat apa yang bisa mereka kerjakan untuk membantu saya dari sana.

Kita tidak pernah tahu bagaimana hidup ini akan berjalan ya? Kita bisa merencanakan, tapi maksud Yang Kuasa-lah yang terlaksana. Padahal di satu sisi, sudah senang aja bisa ke Banda lagi, kampung kelahiran kakek saya. Banda yang pada zaman kolonialisme barat, menjadi salah satu sentra produksi pala dan cengkeh, dengan palung lautnya yang adalah salah satu yang terdalam di dunia (sekitar 8.000-an meter), adalah rumah kedua saya. Beberapa tulisan saya tentang Banda di blog ini adalah bukti, betapa Banda menempati satu tempat khusus dalam sejarah keluarga dan hati saya. Bisa dicek di Perjalanan Ketiga ke (Banda) Neira ataupun Perjalanan ke Desa Lonthoir di Pulau Banda Besar.


Istana Mini

Ketika berkunjung ke Banda, kita dapat menyaksikan rumah pengasingan bapak-bapak pendiri Republik ini, yakni rumah pembuangan Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan lain-lain. Banda dan Boven Digoel di Papua bahkan digadang-gadang sebagai rahim Indonesia. Di kedua wilayah inilah, ide tentang Pancasila mulai dibicarakan. Banda juga memiliki Istana Mini yang merupakan miniatur dari Istana Negara di Jakarta dan dibangun jauh sebelum Istana Negara dibangun.

Salah satu pulau di Kepulauan Banda, yakni Pulau Rhun, pada zaman kolonialisme Belanda, dikuasai oleh Inggris di saat seluruh pulau lainnya dalam penguasaan Belanda. Demi untuk memiliki monopoli perdagangan pala dan cengkah dari Kepulauan Banda, Belanda menawarkan kepada Inggris untuk melakukan barter. Inggris menyerahkan Pulau Rhun di Banda, dan Belanda menyerahkan New York di Amerika yang saat itu dikuasainya, kepada Inggris. Begitu berharganya Banda dalam kancah perdagangan internasional masa itu. Pada tahun 1990-an, (Almh) Puteri Diana bersama kedua anaknya pun pernah mengunjungi Banda.

Pala (https://www.aquaexpeditions.com/)

Sungguh, ada begitu banyak alasan untuk datang berkunjung ke Banda. Dan apakah akan ada hal menarik tentang potret kemiskinan di wilayah yang pernah menjadi primadona perdagangan dunia ini yang bisa saya sajikan melalui penelitian saya? We'll see... 😎

Komentar